Badai,
bisakah kamu berhenti? Aku mengaku kalah. Aku lelah. Sejak kamu datang, semuanya
mulai tidak bisa aku nikmati. Aku tidak bisa melihat satu pun manusia lalu-lalang.
Aku tidak bisa mendengarkan suara-suara bising kendaraan di jalan yang padat
seperti biasanya. Aku bahkan tidak lagi merasakan embun yang harum tercium saat
aku berjalan di pagi buta. Semuanya berbeda. Aku seperti orang bodoh, menerjang
badai sendirian, ketika orang lain sedang asyik menikmati masa istirahatnya.
Aku tidak
menyalahkanmu, Badai. Aku hanya ingin Cerah menggantikanmu. Dia sahabatku. Ya,
walau terkadang dia pergi tanpa pamit sama sekali. Tapi dia tetap sahabatku. Aku
ingin dia. Aku sadar, dia mungkin tidak akan bisa menolongku pergi dari sini. Tapi
setidaknya, aku punya bantuan. Aku hanya butuh waktu, juga dia, Cerah.
Aku ingat,
dulu dia yang menolongku keluar dari tempat pengap kecil itu. Dia mengubahku
menjadi petualang. Aku juga ingat, dulu dia yang memaksaku untuk memakan
sambal, ya, walaupun dia tahu aku sangat tidak suka pedas sedikit pun. Tapi
akhirnya, lihat sekarang, kini aku menjadi penggila pedas. Dia itu hebat. Dia bisa
mengubah aku yang dulu, jadi aku yang sekarang—sebelum aku bertemu kamu, lebih
tepatnya.
Oh iya,
pernah suatu waktu aku mengirimi doa untuk dia, agar segera datang. Lalu, aku
menemuinya, sebentar. Tidak lama, dia hilang lagi. Hilang semakin tak terlihat.
Pergi semakin jauh. Bahkan, hampir lupa aku dengan sosoknya. Banyak sekali
memang kenanganku dengan Cerah. Hah, aku rindu padanya. Hmm, oh, atau lebih
tepatnya, aku butuh dia.
Badai,
kalau kamu melihat Cerah, sampaikan harapanku untuknya. Dan kamu, Cerah, kalau
kamu melihatku, merasakan panggilanku, datanglah! Aku menunggumu. Cepat datang,
ya…