Sebatas Pelangi

10.46.00

Tertulis di dinding ini, sebuah cerita yang tidak bisa aku jelaskan. Sebuah cerita tentang perjalanan yang tidak mau kubahas lagi—setelah ini.

Pagi ini, kubisikan pada siul angin yang ada di luar jendela, bahwa kali ini aku tidak lagi merasakan hal yang sama pada tulang ini. Entah itu sebuah kejujuran yang menyakitkan. Atau justru kebohongan yang dipekikkan. Apapun itu, kaki saya masih menginjak tanah, kan. Tidak ada batu yang menuliskan namaku. Ini hanya penggalan. Nikmati saja.

Lagipula, ini bukan karena aku yang menghabiskannya. Ini karena dia yang membuat aku habis. Habis dalam sebuah warna yang tidak lagi bisa dia ubah. Juga dalam dingin yang tidak bisa dia hangatkan.

Kenapa harus aku yang selalu berlari mencari air ketika dia kepanasan? Kenapa ketika aku haus, dia hanya diam—dan selalu berkata kalau dia kebingungan harus bagimana terhadapku. Dia tidak pernah mencoba terbang dari kandangnya. Atau sebatas, berusaha mencari berbagai halapapun ituyang membuat tubuhku kuat ketika kehausan.

Hingga akhirnya aku terlalu haus, dan aku mulai mati. Namun sial, dia masih saja bingung harus bagaimana. Apa yang bisa kamu lakukan, sebenarnya?

Kematian ini, kupercaya, hanyalah sebuah pembekuan, yang apabila ada cahaya lain menyinarinya, dia akan hidup lagi. Oleh karena itu, kubiarkan dia terbuka, tapi dalam keadaan kosong.

Mungkin dia indah—dahulu, tapi yang kuyakini untuk kali ini dan seterusnya; dia hanya pelangi—datang ketika badai selesai, lalu mulai mengisi dengan indah, dan hanya sebentar dia terasa, kemudian dia menghilang. Keindahannya hanya sementara. Tidak pernah bisa abadi.

You Might Also Like

0 komentar