Badai dan Cerah

18.29.00

Badai, bisakah kamu berhenti? Aku mengaku kalah. Aku lelah. Sejak kamu datang, semuanya mulai tidak bisa aku nikmati. Aku tidak bisa melihat satu pun manusia lalu-lalang. Aku tidak bisa mendengarkan suara-suara bising kendaraan di jalan yang padat seperti biasanya. Aku bahkan tidak lagi merasakan embun yang harum tercium saat aku berjalan di pagi buta. Semuanya berbeda. Aku seperti orang bodoh, menerjang badai sendirian, ketika orang lain sedang asyik menikmati masa istirahatnya.

Aku tidak menyalahkanmu, Badai. Aku hanya ingin Cerah menggantikanmu. Dia sahabatku. Ya, walau terkadang dia pergi tanpa pamit sama sekali. Tapi dia tetap sahabatku. Aku ingin dia. Aku sadar, dia mungkin tidak akan bisa menolongku pergi dari sini. Tapi setidaknya, aku punya bantuan. Aku hanya butuh waktu, juga dia, Cerah.

Aku ingat, dulu dia yang menolongku keluar dari tempat pengap kecil itu. Dia mengubahku menjadi petualang. Aku juga ingat, dulu dia yang memaksaku untuk memakan sambal, ya, walaupun dia tahu aku sangat tidak suka pedas sedikit pun. Tapi akhirnya, lihat sekarang, kini aku menjadi penggila pedas. Dia itu hebat. Dia bisa mengubah aku yang dulu, jadi aku yang sekarang—sebelum aku bertemu kamu, lebih tepatnya.

Oh iya, pernah suatu waktu aku mengirimi doa untuk dia, agar segera datang. Lalu, aku menemuinya, sebentar. Tidak lama, dia hilang lagi. Hilang semakin tak terlihat. Pergi semakin jauh. Bahkan, hampir lupa aku dengan sosoknya. Banyak sekali memang kenanganku dengan Cerah. Hah, aku rindu padanya. Hmm, oh, atau lebih tepatnya, aku butuh dia.

Badai, kalau kamu melihat Cerah, sampaikan harapanku untuknya. Dan kamu, Cerah, kalau kamu melihatku, merasakan panggilanku, datanglah! Aku menunggumu. Cepat datang, ya…

You Might Also Like

0 komentar