Hai, semuanya! Silakan dipilih dari ketiga desain cover buku di bawah ini, mana yang kalian pilih! Submit pilihan kalian di bagian "Hubungi Saya" di samping kanan bawah. Kalian bisa juga memilih melalui formulir ini! Atau bisa lewat polling yang ada di bawah!
Meski kau dicaci, tetaplah menulis
Tak perlu ragu jika dipejamkan
Keluarkan saja kata yang ada di pikiran
Jangan mau disulut api
Sebab kamu berhak menulis semuanya tanpa
tapi
Tak usah kompromi kepada siapapun lagi
Semua harus diungkap sampai titik henti
Hidup ini ada batasnya
Tapi kejujuran tidak bisa diberi batas
Kata-kata bisa dirangkai begitu saja
Tapi kebenaran tidak bisa diretas
Jangan mau jika diminta untuk abaikan
Semua mesti dijabarkan
Karena kebenaran adalah hakiki
Harus diangkat sangat tinggi
Tuliskanlah tulisanmu
Tuangkan sesegera kau mampu
Tak usah menghindari kungkungan mereka
Kamu hanya perlu menuliskannya
Jangan simpan keraguan di pikiranmu
Ketakutan hanya kerendahan alam bawah
sadar
Keluarkan! Tak perlu menunggu
Jangan biarkan keadilan memudar
Menulislah saat kamu marah
Bungkam dia si banyak tingkah
Tidak perlu ragu
Tetaplah menulis semaumu
Apa kabar hari ini? Apa kabar si egois
ini?
Belum satu minggu saya
di sini, rasanya sudah mau pecah kepala. Kesulitan bahasa membuat saya
keteteran. Untuk sekedar tanya tempat untuk beli makanan halal, lokasi tempat
ibadah, atau beli kopi yang tidak terlalu strong saja harus keluar keringat dulu.
Tapi ada satu hal yang membuat saya kagum dengan orang-orang di sini, yaitu bisa
mengingat satu kebaikan orang lain dan selalu siap membalasnya kapanpun. Itu dibuktikan
langsung oleh Ris, tetangga room saya
dari Malaysia, kemarin.
Pagi-pagi sekali, kami sudah
berjalan-jalan di sekitaran taman kota.
“Awak, mandi tak?” tanya Ris.
Saya menggelengkan kepala, “Enggak,” jawab
saya.
“Kamu?” lanjut saya.
“Hmmmmm...”
Kami kemudian tertawa terbahak. Wajar,
di tempat sedingin ini dan sepagi ini pula. Saya rasa semua orang tidak akan
mandi.
Ketika melewati jejeran
toko roti yang memang selalu buka 24 jam. Tiba-tiba Ris berkata sesuatu.
“Awak tau tak, look at that shop!”
“Hmm?”
“Until now, awak tak tahu nama the
owner. Tapi tiap kali awak lewat, he always tawari saya makanan.”
“Sure? Kenapa begitu? Oh, I know, pasti
kamu dikira mau minta makanan!”
“Awak kira saya ni gelandangan! Huh?”
“Kalau dari mukanya, sih, begitu!”
Kami sama-sama tertawa.
“So, what the story?”
“Masa lepas, saya pernah kasih tahu the
owner when he dropped his money in front of me.”
Saya kaget. Langkah saya terhenti.
Ternyata, hanya dengan
satu kebaikan saja, orang-orang di sini siap membalasnya kapan saja. Sangat jarang
saya temukan di Indonesia. Rata-rata di sana orang hanya akan ingat satu
kebaikan orang lain, dan akan membalasnya pun sekali saja, mereka lebih
menyebutnya balas budi.
Sore di Bandara
Diiringi senja yang terpisah antara kita
Lihatlah kita hari ini, esok hari dan
hari lainnya
Terkungkung jarak yang menghakimi cinta
Resah yang membelenggu tak terelakkan
waktu
Meski kata-kata berisyarat rindu
Kulihat hati kita malah lepas ke arah
yang berlainan
Menjauh terbang tak beraturan
Tak bisakah aku memilih mimpiku selama
ini?
Atau kau harus terus kutemani?
Kita bukan bandar udara ini
Hanya jadi tempat pesawat singgah lalu
terbang lagi
Sudahlah, kini bukan waktunya lagi berdebat
Sebab tak lama lagi aku harus berangkat
Memberi dinding pemisah antara dua
langit berbeda
Antara kau, aku dan cinta kita
Temukan aku dalam bintang di dalam malam
Lihatlah seksama meski itu dari kejauhan
Kuharap kamu akan merasa tentram
Bersama cintaku di belahan bumi yang
berlainan
Sore di Bandara
Menanti malam yang tak lagi sama
Berteman rasa tak karuan di dada
Berisi rindu yang dibalas kecewa
“Aku harus gimana
supaya kamu mau maafin aku?” kataku lirih.
Kamu geming.
“Kamu
harus tahu, kamu enggak bisa melihat suatu hal cuma dari satu sudut pandang
saja. Kamu juga harus lihat gimana sudut pandang yang lain. Satu orang, dua,
tiga, bahkan lebih. Itu supaya kita tahu apa yang orang lain nilai tanpa kita
sendiri sadar.”
Kamu
menoleh, “aku enggak ngerti kamu ngomong apa.”
Aku
menghela napas sejenak, “apa yang kamu pikirkan tentang kejadian tujuh tahun
silam itu salah...”
“Apanya
yang salah? Kasih tahu aku dimana yang salah? Hah?! Orang sudah jelas semuanya!
Jelas banget!” jawabmu memotong.
Nampaknya
salah jika aku membela diri. Mungkin, kamu hanya perlu mendengar semuanya dari
awal. Tanpa ada yang terlewat, dan tanpa pembelaan.
Aku
merendahkan nada bicaraku, “boleh aku ceritain semuanya dari awal?”
Kamu
tidak merespon. Terdengar jelas nafasmu begitu berat. Ada isak tangis yang
sedang kamu bendung. Mungkin isak tangis amarah. Mungkin isak tangis
kekecewaan. Mungkin isak tangis ketidaksiapan. Atau mungkin isak tangis rindu.
Aku lebih berharap itu yang keempat.
“Boleh
aku ceritain semuanya dari awal sama kamu?”
Kamu
menangguk.
Bagi sebagian besar orang,
kritikan adalah hal yang paling tidak disukai. Sebab setiap orang haus akan
pujian. Dimana kritikan diibaratkan sebagai perwujudan adanya celah kekurangan.
Sedangkan pujian menjadi penjelmaan dari pengakuan kelebihan. Maka tidak heran,
jika ada orang yang mengritik, akan ada perasaan tidak senang muncul dalam diri
kita. Akan tetapi, bagi saya kritikan merupakan koreksi bagi diri kita. Kritikan
bukan hanya catatan yang mesti diperbaiki, tapi lebih dari itu. Kritikan laksana
noda di baju yang harus segera kita cuci bersih tanpa sisa.
Sebagai manusia biasa,
saya pun pernah mendapat kritikan. Tidak jarang saya merasa sudah gagal, atau
bahkan tertekan atas kritikan yang dialamatkan kepada saya. Tapi satu hal yang
sampai saat ini saya jaga: keyakinan. Setiap orang harus meyakini dirinya bisa
melakukannya. Tidak peduli seberat apa tantangan yang ada, selama ada aksi, di
situ akan ada reaksi. Begitu kata Newton.
Selama ada keyakinan
untuk bisa, maka di situ ada kepingan puzzle untuk melengkapi setiap kekurangan.
Yakinlah pada dirimu sendiri bahwa kamu bisa mengubah kritikan itu menjadi
sebuah penghargaan. Begitu kata seorang Mahasiswa yang pernah diusir dari kelas
pada pertemuan pertama dan mampu menjadi bintang kelas di pertemuan terakhir.
Salam.
Mahasiswa
tersebut.