[Dua]

18.28.00

“Aku harus gimana supaya kamu mau maafin aku?” kataku lirih.
Kamu geming.
            “Kamu harus tahu, kamu enggak bisa melihat suatu hal cuma dari satu sudut pandang saja. Kamu juga harus lihat gimana sudut pandang yang lain. Satu orang, dua, tiga, bahkan lebih. Itu supaya kita tahu apa yang orang lain nilai tanpa kita sendiri sadar.”
            Kamu menoleh, “aku enggak ngerti kamu ngomong apa.”
            Aku menghela napas sejenak, “apa yang kamu pikirkan tentang kejadian tujuh tahun silam itu salah...”
            “Apanya yang salah? Kasih tahu aku dimana yang salah? Hah?! Orang sudah jelas semuanya! Jelas banget!” jawabmu memotong.
            Nampaknya salah jika aku membela diri. Mungkin, kamu hanya perlu mendengar semuanya dari awal. Tanpa ada yang terlewat, dan tanpa pembelaan.
            Aku merendahkan nada bicaraku, “boleh aku ceritain semuanya dari awal?”
            Kamu tidak merespon. Terdengar jelas nafasmu begitu berat. Ada isak tangis yang sedang kamu bendung. Mungkin isak tangis amarah. Mungkin isak tangis kekecewaan. Mungkin isak tangis ketidaksiapan. Atau mungkin isak tangis rindu. Aku lebih berharap itu yang keempat.
            “Boleh aku ceritain semuanya dari awal sama kamu?”
            Kamu menangguk. 

You Might Also Like

0 komentar