Anti-Apatis
12.56.00
“Tantangan
terbesar kita adalah sifat apatis.” - Dira Noveriani
***
Terkadang
saya suka aneh saat melihat betapa banyak pengendara motor dan mobil mengklakson
anak sekolahan yang pulang pake sepeda—yang sebenarnya—sudah sangat berada di
kiri jalan; bahkan hampir mentok trotoar. Memang anak sekolahan itu agak mengganggu
jalan karena sepeda jalannya lambat, but look,
dude! mereka tidak punya tempat atau jalur sendiri. Lagipula dalam Pasal
284 Undang Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; “Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan
Bermotor dengan tidak mengutamakan keselamatan Pejalan Kaki atau Pesepeda
sebagaimana dimaksud dalam pasal 106 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan
paling lama 2 (dua) bulan atau denda paling banyak Rp. 500.000,- (lima ratus
ribu rupiah)”. Jadi, tetap saja anak sekolah itu harus diberi space buat ada di jalan.
Hal ini
juga diperparah oleh pemerintah yang tidak menyediakan cycle track, karena memang jarang sekali ada pemerintah daerah yang
menyediakan cycle track di jalan raya.
Bahkan terkadang pemerintah daerah hanya mencari jalan cepat. Mereka menjadikan
walking track sekaligus sebagai cycle track. Padahal trotoar ya trotoar,
jalur sepeda ya jalur sepeda. Itu dua hal yang sama-sama punya hak untuk
memiliki jalurnya masing-masing. Seperti tertuang pada Pasal 25 ayat (1) huruf (g)
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; “Setiap Jalan yang digunakan untuk Lalu
Lintas Umum wajib dilengkapi dengan
perlengkapan Jalan berupa; Fasilitas untuk Sepeda, Pejalan Kaki, dan Penyandang
Cacat.”
Hal-hal
ini sangat bertolak belakang dengan niat pemerintah yang gencar menggalakkan bike to work.
Pemerintah
ingin orang-orang beralih dari kendaraan pribadi, tapi jalur kendaraan umum,
jalur sepeda, jalur pejalan kaki, hingga keselamatan pengguna transportasi umum
dan pesepeda atau pejalan kaki masih minim. Ditambah lagi dengan tingkah laku
masyarakatnya yang amburadul. Susah tertib, egois, dan gak aware sama kebaikan orang banyak. Apatisnya sudah mendarah daging.
Andai saja
setiap orang sadar akan posisinya dan bisa saling menghargai satu sama lain, kemudian
itu menular ke yang lainnya, saya percaya keadaan ini pasti berubah.
***
Soal bike to work, anak sekolah saja bisa kok
bersepeda 3-7 km dari rumah ke sekolah, masa yang bekerja atau yang lainnya
tidak bisa? Kita waktu kecil bangga bersepeda, kenapa sekarang tidak? Suhu panas
itu salah satu faktornya karena kita pakai motor dan mobil, makanya biar tidak
panas, ya, pakai sepeda. Apalagi jika ditambah tata kota yang lebih
mengutamakan ruang terbuka hijau. Kelamaan pasti tidak panas lagi. Ubah pola
hidup dari sekarang! Memang tidak sesimpel itu, tapi setidaknya kita bisa
berusaha sesimpel itu.
***
Agak
kaget juga lihat suhu di siang hari sekarang bisa sampai 34 derajat. Padahal awal
Juli maksimal juga 31 derajat. Dan kenaikan itu belum sampai setahun terakhir,
loh.
Pas
saya di jogja saya sempat kaget karena di sana tidak ada angkot, adanya transjogja sama bus kota, karena rata-rata masyarakatnya menggunakan kendaraan
pribadi, tapi banyak juga yang menggunakan becak dan sepeda. Bahkan orang asingnya lebih enjoy berjalan kaki kemana-mana. Memang masih panas udaranya, tapi
tidak sepanas di daerah industri. Itu saja sudah membuktikan bahwa gaya hidup masyarakat
suatu daerah—kasarnya—menentukan panas atau tidaknya daerah itu. Makanya diubah
sedikit, lah. Pelan-pelan pasti ada hasilnya, kok, kayak diet.
Mungkin
ada satu kalimat yang bisa saya gambarkan untuk semua ini, keapatisan hanya bisa dilawan dengan keteladanan yang ditularkan.
0 komentar