Penyesalan
13.31.00
Indrawan dan Mira
adalah seorang kekasih yang dipersatukan oleh hal yang tidak terduga. Awalnya,
ketika baru menginjakkan kaki di SMA, Indrawan merasa dirinya mulai menyukai temannya semasa SD,
yaitu Sasha. Indrawan mulai memiliki rasa yang berbeda tersebut ketika Sasha
meng-add facebooknya. Kemudian,
percakapan keduanya pun berubah semakin intens. Mereka pun saling bertukar nomor
dan akhirnya mereka saling ber-smsan
dari pagi buta sampai tiba pagi lagi. Tidak jarang juga salah satu dari mereka
menelpon sampai berjam-jam.
Satu bulan sudah
Indrawan dan Sasha dekat. Indrawan semakin merasa nyaman dengan Sasha.
Berhubung hari ini adalah minggu, Indrawan mengajak Sasha untuk bertemu. Ia
berniat mengutarakan perasaannya kepada Sasha. Namun, karena Sasha tidak
diijinkan keluar sendiri oleh orang tuanya, akhirnya Sasha meminta Mira,
sahabatnya, untuk ikut. Awalnya, Indrawan merasa kecewa. Karena ia takut rencana
yang sudah ia persiapkan dengan matang akan gagal. Namun, karena desakan Sasha
akhirnya ia mengiyakan.
Sasha sendiri
sebenarnya tidak memiliki perasaan yang lebih kepada Indrawan. Ia justru
beranggapan kalau Mira, yang kebetulan juga sedang lajang adalah wanita yang
tepat untuk Indrawan. Mereka berdua cocok. Indrawan yang sangat perhatian
dianggap Sasha mampu menjaga Mira yang sejak kecil memiliki penyakit yang bisa kambuh kapan
saja.
Tibalah saat mereka
bertiga bertemu. Sasha langsung mengenalkan Mira kepada Indrawan. Dari
perkenalan itu, ternyata Indrawan baru tahu kalau Mira adalah teman satu
sekolahnya. Tidak menunggu waktu lama, akhirnya mereka bertiga bersenang-senang
dan melewati hari itu bersama-sama. Sialnya, niat Indrawan untuk mengutarakan
cintanya kepada Sasha tidak berjalan mulus. Saking asyiknya, ia justru lupa
dengan niat awalnya.
Semenjak hari itu,
Indrawan justru lebih dekat dengan Mira. Mungkin karena mereka berdua satu
sekolah. Sehingga mereka berdua jadi lebih intens bertemu, mengobrol, atau sekedar jajan di kantin berdua.
Lama-kelamaan mereka
berdua akhirnya saling memiliki perasaan satu sama lain. Setelah
menunggu-nunggu waktu yang tepat, Indrawan akhirnya memberanikan diri
mengutarakan isi hatinya kepada Mira di lorong sekolah saat semua murid sudah
berangsur pulang. Tanpa meminta syarat atau pun waktu untuk berpikir, Mira langsung mangangguk
malu mengiyakan. Itulah awal kisah dari Indrawan dan Mira.
***
Belakangan ini,
hari-hari Indrawan dan Mira mulai berubah. Hari-hari yang biasanya selalu indah
sekarang mulai berubah. Indrawan yang mengikuti ekstrakurikuler Paskibra di sekolah
mulai memasuki masa-masa sibuk. Apalagi semenjak ia terpilih mewakili sekolah
untuk menjadi paskibraka kabupaten dalam acara Pengibaran Bendera Merah Putih
untuk memperingati HUT RI. Awalnya hanya tiga hari dalam seminggu saja ia tidak
masuk sekolah karena harus mengikuti latihan. Semakin lama, karena semakin
dekat dengan harinya, Indrawan pun diharuskan ijin dari sekolah selama dua
minggu full sampai hari pengibaran tiba. Ia di asramakan, dan hari-harinya
menjadi keras, seperti para tentara.
Karena kesibukan itulah Mira merasa kesepian.
Meskipun ia dan Indrawan sering ber-smsan.
Nampaknya hal itu tidak mengobati rasa rindu dan kesepian Mira. Akhirnya ia
mulai dekat dengan orang lain. Dimas, seorang adik kelasnya ketika SMP,
perlahan mampu menggantikan posisi Indrawan. Hampir setiap saat pesan dari Dimas selalu memenuhi inbox pesan milik Mira.
“Kak, lagi apa?”
“Lagi mau pulang nih,
kamu?”
“Aku juga mau pulang,
kakak pulang sama siapa?”
“Hmm, gak sama
siapa-siapa. Paling naik angkot!”
“Oh…aku anter ya?”
“Hah? Emang kamunya mau, gitu?”
“Mau atuh kak!”
“Gak usah ah, ntar
malah ngerepotin kamu.”
“Enggak kok, aku ke
sekolah kakak sekarang ya! Aku tunggu di depan ya!”
“Eh iya deh. Maaf ya
ngerepotin...”
Itulah sepotong pesan
dari Dimas dan Mira. Mira langsung senyum-senyum sendiri. Nampaknya inisiatif
Dimas untuk menjemputnya, membuat Mira sumringah. Ia merasa tidak lagi kesepian.
Dengan cepat ia langsung merapikan buku-bukunya. Memikul tasnya yang berat.
Dan berjalan dengan antusias ke depan sekolah.
Saat ia menginjak luar
sekolah, terlihat Dimas sudah siap dengan motornya. Tidak menunggu waktu lama,
Mira langsung mendekati Dimas.
“Maaf ya jadi
ngerepotin...” kata Mira tidak enak hati.
“Ah udah gak apa-apa
kok, kak! Kan sekalian biar tau rumah kakak.”
“Iya deh!”
Dimas langsung
memberikan helm kepada Mira. Mira pun langsung duduk dibonceng oleh Dimas.
Namun, motor masih tidak berjalan.
“Loh, kenapa? Kok belum
jalan?” kata Mira.
Dimas terlihat
melepaskan jaketnya.
“Kakak, pake jaket aku
ya! Biar gak kedinginan!” kata Dimas memberikan jaketnya.
“Hmm…gak mau ah! Nanti
malah kamu yang kedinginan!” kata Mira mencoba menolak.
“Udah tenang aja, kakak
pake sekarang jaketnya nanti malah kemaleman loh!”
Karena tidak enak hati,
Mira pun langsung memakai jaket Dimas. Setelah jaketnya dipakai, Dimas pun
mulai menggas motornya dan menelusuri jalanan menuju rumah Mira.
***
Mereka berdua sudah
sampai di rumah Mira.
“Nih jaket sama
helmnya! Makasih ya, Dim!”
“Iya, kak! Sama-sama. Aku pulang dulu ya!” kata Dimas berpamitan.
Mira hanya mengangguk
tersipu.
“Oh iya, nanti malem
aku main ke rumah kakak ya?”
“Euh.... bo...leh! Yaudah
hati-hati ya!” kata Mira tersenyum malu. Wajahnya merona.
“Iya kak! Sampe ketemu
nanti malem ya!” kata Dimas tersenyum.
“I-iya,”
Dimas langsung melajukan motornya menjauhi rumah Mira.
***
Udara
malam minggu cukup bersahabat. Sesuai dengan niatnya tadi, Dimas mengarahkan
motornya menuju rumah Mira. Sesampainya disana, ia langsung disambut oleh Mira
yang malam ini terlihat berbeda. Penampilannya sangat anggun. Cantik. Ditambah
kacamata warna putih yang ia kenakan. Semuanya lengkap. Sempurna.
“Kak…kakak
cantik banget sumpah!” kata Dimas takjub. Matanya terus memandangi Mira. Dari
ujung kaki, sampai ujung kepala.
“Ah,
kamu bisa aja!” kata Mira malu-malu.
“Yaudah duduk dulu…” kata Mira mempersilahkan
Dimas.
Mereka
berdua akhirnya mengobrol dengan asyik di teras depan rumah Mira. Tersenyum,
bahkan tertawa-tawa. Semuanya sangat bahagia.
Ketika suasana sedang sangat menyenangkan. Tiba-tiba Indrawan
datang. Sontak saja Dimas dan terutama Mira kaget bukan kepalang. Dengan jaket
kotor bekas latihan, dan setangkai bunga mawar, Indrawan turun dari motornya
dengan semangat. Belum sampai kakinya menginjak rumah Mira, langkah kakinya
tiba-tiba terhenti. Kaku. Ia mendapati Mira sedang berdua bersama seorang
laki-laki. Mira sontak saja langsung bangkit dari tempat duduknya. Ia mencoba
menghampiri Indrawan.
Namun, raut wajah
Indrawan sudah terlanjur berubah. Kecewa. Sangat kecewa. Ia langsung melempar
bunga mawar yang hendak ia berikan kepada Mira di tangannya. Kelopak bungannya jatuh berserakan, rusak akibat munghujam tanah. Tanpa pikir panjang ia langsung naik kembali ke motornya dan
langsung meninggalkan Mira tanpa sepatah kata pun.
Mira sendiri tidak
mampu menahan langkah Indrawan yang di perjalanan tak henti-hentinya
mengeluarkan air mata. Dadanya sangat sesak. Hatinya sangat berkecambuk. Ia
bahkan melajukan motornya sekencang mungkin agar hatinya tidak merasakan
kekecewaan yang begitu dalam.
Setelah kejadian itu
Indrawan memutuskan untuk menyendiri. Ia mematikan hpnya. Dan mulai fokus
dengan tugasnya sebagai pengibar bendera dalam HUT RI nanti. Ia sangat
menyibukkan diri dan tidak pernah keluar dari asrama meskipun teman-temannya
mengajak untuk keluar. Hatinya masih terkunci. Seindah apapun cahaya matahari
pagi yang bersinar, ia tetap geming.
Setelah menyelesaikan
tugasnya sebagai pengibar, ia pun kembali kepada dunianya, bersekolah. Di
sekolah, jika ia berpapasan dengan Mira ia langsung mengalihkan pandangannya
dan buru-buru menghindar menjauhi Mira. Mira sendiri tidak mampu berbuat
apa-apa. Semua usahanya untuk meminta maaf tetap tidak membuahkan hasil.
Setiap hari, setelah
bubar sekolah Indrawan langsung menyibukan dirinya di berbagai kegiatan. Mulai
dari kumpul-kumpul bersama teman-teman paskibraka kabupaten, latihan ekskul,
futsal, sampai menulis untuk mading sekolahnya. Semua kegiatannya itu perlahan
mengalihkan hatinya dari Mira. Walau setiap hari Mira selalu memperhatikan
semua kegiatan Indrawan dan Indrawan sendiri tahu akan hal itu, namun hati
Indrawan seperti terlahir kembali. Ia sudah melupakan semua masanya bersama
Mira. Bahkan sekarang, jika ia berpapasan dengan Mira ia tidak sungkan untuk
melemparkan senyuman.
Suatu ketika, saat
sekolah sudah mulai sepi. Indrawan masih terlihat sibuk mendekor catatan yang
akan ia pampang di mading sekolah. Keringatnya bercucuran disana-sini. Di saat
yang sama, Mira dan teman-temannya baru saja selesai mata pelajaran tambahan.
Mereka pun hendak pulang. Namun, ketika mereka berjalan di tengah lapangan, tiba-tiba langkah Mira terhenti. Ia melihat Indrawan sedang menghias mading
sekolah yang terletak di depan ruang guru. Tangannya terlihat terampil
memberikan pernak-pernik agar mading itu terlihat lebih menarik. Seketika itu
juga Mira merenung sedih.
“Eh kita liat mading
dulu yuk!” ajak salah satu teman Mira.
“Ayo!” kata temannya
yang lain mengangguk iya.
“Hah?” kata Mira.
Sontak saja ia terkaget-kaget. Ia masih terdiam.
“Udah ayo!” ajak
temannya menarik paksa tangan Mira.
Dengan terpaksa Mira
mengikuti langkah teman-temannya. Sesampainya mereka disana. Hati Mira semakin
bedegup. Rasa tidak enak dengan Indrawan masih mengintai.
“Ada
hal baru apaan, Wan?” kata salah seorang teman Mira kepada Indrawan yang sedang
menempelkan beberapa tulisan.
“Hmm,
banyak. Liat aja!” kata Indrawan sedikit tersenyum kecil. Keringatnya terlihat
mengganggu wajahnya. Ingin sekali Mira mengusap keringatnya, namun apa daya dia
hanya bisa terdiam di belakang teman-temannya dan tak pernah melepaskan
pandangannya kepada Indrawan.
Sadar
Mira memperhatikannya, Indrawan pun mencoba menegur Mira.
“Kenapa,
Mir?”
“Eh
enggak. I-tu…keringet kamu,” kata Mira menunjuk ke arah keringat yang menetes
di wajah Indrawan.
“Oh…hahaha." kata
Indrawan tertawa kecil. Ia mengelap keringatnya.
Melihat raut wajah
bahagia Indrawan, Mira pun merasa senang. Ia tersenyum-senyum sendiri. Seperti
sudah di rencanakan, melihat Mira yang sedang melamun melihat Indrawan, ketiga
temannya diam-diam meninggalkan Mira dan Indrawan.
Ketika sudah cukup jauh
temannya meninggalkan, Mira pun lama-kelamaan tersadar. Ia pun gelagapan
dibuatnya.
“Loh pada kemana?”
tingkahnya terlihat gugup bukan kepalang.
“Paling ngumpet,” kata
Indrawan masih terlihat merapihkan tata letak mading.
“Wah parah nih...” gerutu
Mira. Ia mati kutu. Ia hanya bisa menggaruk-garuk kepalanya.
Indrawan sudah mulai
menyelesaikan semua tugasnya dengan mading itu. Ia mengunci rapat kaca mading.
“Loh kok diem aja?”
“Ah, abis bingung mau
ngapain,” kata Mira salah tingkah.
“Oh… Yaudah aku pulang
duluan ya.” kata Indrawan pamit. Ia langsung mengambil tasnya.
“Eh bentar, Wan!” kata
Mira memegang lengan Indrawan. Ia mencoba menahan Indrawan.
“Kenapa?”
“A...ada yang mau aku
omongin.”
“Oh, omongin apa?”
“Euh…a-ku mau min...ta
maaf soal yang waktu itu.” kata Mira tertunduk.
“Soal apa?”
“Soal malem minggu
itu…” kata Mira semakin tertunduk. Ia merasa sangat bersalah.
“Oh…itu. Aku aja udah
lupa kok,” kata Indrawan sedikit tertawa kecil.
“Maaf ya, aku gak ada
maksud apa-apa. Dia itu bukan siapa-siapa aku, Wan. Serius!” kata Mira
memberanikan diri menatap mata Indrawan. Indrawan langsung terdiam. Raut
wajahnya datar. Tidak ada kata, tidak ada senyuman.
Indrawan memegang bahu
Mira, “Udah… Aku udah lupain semuanya kok. Termasuk kita. Buat aku semuanya yang udah terjadi, yaudah. Dan buat aku, sekarang justru lebih baik. Aku punya kehidupan
sendiri. Kamu juga punya kehidupan sendiri.” kata Indrawan tersenyum.
“Wan, maaf! Aku masih
sayang sama kamu. Kita itu masih pacaran kan? Kamu juga belum bilang kalo kita
udahan.” kata Mira mulai meneteskan air mata.
“Maaf, Mir! Sekarang di antara
kita itu ada sebuah dinding yang tinggi. Tebal. Sekuat apapun aku, aku gak akan
bisa nembus dinding itu. Aku udah coba nerobos, tapi aku malah sakit.”
“Tapi, Wan…”
“Mir, dengerin aku! Aku
gak akan bisa bahagiain kamu.”
“Bisa, Wan…Bisa!” kata
Mira mulai menangis.
“Kalo aku bisa
bahagiain kamu, kamu gak akan kayak waktu itu. Baru ditinggal segitu aja kamu
udah gitu. Itu juga karena aku inisiatif dan berusaha ijin keluar buat ke rumah
kamu. Kalo aku gak ke rumah kamu, mungkin akan lebih parah. Aku sakit liatnya
juga, Mir! Sakit!”
“Maaf, Wan. Itu salah
aku..” Mira mulai tertunduk. Ia mencoba memeluk Indrawan namun Indrawan menolak.
Air matanya deras mengalir.
“Udah…Sekarang, kita
itu adalah langit yang gak ada awan. Bebas. Jelas. Udah gak ada lagi hal yang
ngeganjel. Semuanya udah jelas.”
“Tapi aku gak mau, Wan! Aku terlalu sayang
sama kamu.”
Indrawan terdiam.
“Wan! Apa air mata ini
gak cukup buat nunjukin kalau aku sayang banget sama kamu? Kamu mau bukti apa
lagi, Wan? Bilang sama aku!!” kata Mira memelas.
“Maaf, Mir...” kata
Indrawan mengusap bahu Mira. Ia mencoba membuka sebuah senyuman.
“Please, Wan! Aku mau
kita coba lagi...” kata Mira tanpa bisa menahan air matanya yang mengalir deras.
Wajahnya memelas memohon.
Awan di sekolah seperti
sehati dengan Mira. Ia mulai menumpahkan tetesan-tetesan air hujan ke bumi.
Membuat hati Mira semakin tersayat. Perih.
“Maaf ya…” kata
Indrawan menatap penuh arti kedua mata Mira. Perlahan ia melepaskan tangannya
dari bahu Mira. Ia mulai mengarahkan tangannya ke pipi Mira. Mulai mengusap air
mata yang dari tadi menetes.
Beberapa detik mereka
tidak saling bicara. Indrawan terlihat tersenyum kecil. Ia kembali menepuk bahu
Mira. Namun, tidak lama ia langsung melepaskannya dan mulai membalikan
tubuhnya. Kakinya perlahan melangkah menjauhi Mira yang terdiam seribu bahasa.
Terlihat air mata Mira kembali mengalir. Jauh lebih deras. Bahkan bila
dibandingkan dengan air hujan yang mengiringi kesedihannya pun tidak seberapa
dengan air mata Mira. Air mata penyesalan. Bukti cinta yang tulusnya untuk
Indrawan. Namun, apa daya hujan di sampingnya justru melarutkan semua
penyesalannya kedalam kesedihan.
0 komentar