Abstraknya Dinding Antara Ketegasan dan Kesewenang-Wenangan: Salahkah Demokrasi?
18.29.00
Selepas gembar-gembor reformasi yang menuntut dimulainya era-keterbukaan informasi,
dan kebebasan berekspresi dalam sebuah dalih demokrasi, ternyata justru memberi
ruang pembelokan tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara. Kini, dalih
demokrasi tidak ubahnya tirai penutup jurang antara ketegasan dengan
kesewenang-wenangan, keadilan dengan ketidakadilan, serta kebenaran dengan
kesalahan.
Kita bisa melihat kehidupan demokrasi
pada masa ini mulai berubah menjadi pukulan balik untuk segala ketegasan. Dengan
alibi, itu adalah perwujudan dari kesewenang-wenangan. Kini siapapun diminta
untuk tidak lagi memberi ketegasan yang sewenang-wenang. Padahal, seorang
psikolog terhebat pun rasanya sulit untuk terus-menerus memberi dinding
ketegasan tanpa kesewenang-wenangan. Sebab, manusia adalah pencipta
objektivitas paling abstrak. Tidak pernah ada satu kata sepakat pun dalam
setiap pemikiran manusia. Selalu ada pro
dan kontra. Sehingga, selalu ada
celah persepsi kesewenangan dalam tiap ketegasan.
Terlalu abstraknya dinding antara
ketegasan dan kesewenang-wenangan inilah yang menjadi titik perhatian saya,
sekaligus pertanyaan besar saya: “salahkah demokrasi?”. Karena saya melihat apa
yang kita anggap ketegasan pada era sebelumnya, kini justru dianggap sebagai
kesewenang-wenangan. Hasilnya, produk bangsa mulai tidak terkendalikan “kebebasannya”. Semua dianggap harus
sama. Sebagai contoh, anak-anak masa kini terbiasa bebas mengkritik orang yang
lebih tua tanpa sopan santun. Membentak balik, menjelek-jelekan, bahkan
menganiaya. Strata usia seperti memudar. Padahal, adab ketimuran yang bangsa
ini anut selalu menanamkan tiga struktur bersosial. Yakni, antara kita dengan
yang lebih tua. Antara kita dengan seusia. Terakhir, antara kita dan usia di
bawahnya. Dimana substansi adab ketimuran untuk kita kepada yang lebih tua adalah
kesopanan dan rasa hormat. Untuk seusia, biasanya bersifat fleksibel. Dan untuk
usia di bawah kita, cenderung mengayomi dan memberi contoh.
Nampaknya, pengenalan demokrasi secara
sempit memberi jalan kepada para “pemikir
malas” untuk mendoktrin demokrasi sebagai kebebasan yang sebebas-bebasnya. Mengaburkan
pemisah antara kebenaran subjektif dengan ketidakbenaran yang objektif. Menutup
rapat pintu persamaan persepsi. Serta memberi dinding yang abstrak antara
ketegasan dan kesewenang-wenangan.
Lalu, salahkah demokrasi?
Pertama, kita harus paham betul, kita adalah
satu-satunya bangsa yang memiliki dasar negara yang diambil dari nilai-nilai
leluhur. Nilai-nilai yang tidak diambil dari negara manapun. Nilai itu adalah
Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan, dan Keadilan Sosial. Lima nilai
yang selalu diucap ketika perhelatan upacara bendera. Lima nilai yang hanya keluar
dari lisan, tanpa terpatri dalam sudut kehidupan.
Nilai-nilai tersebut sebetulnya adalah
pondasi dari demokrasi. Bila kita umpamakan, pada sebuah bangunan beranama
demokrasi, pondasi yang mengokohkannya adalah nilai-nilai tadi. Artinya, demokrasi
mampu berdiri apabila ditopang
dengan kelima nilai tadi. Sehingga, setiap manusia yang tinggal di dalam sebuah
bangunan demokrasi, dia haruslah berpijak pada pondasi lima nilai bumi pertiwi
tadi. Sehingga, demokrasi menjadi kokoh dan tidak bisa digoyahkan lagi. Demokrasi
menjadi tatanan yang kuat dalam menghidupi setiap individu di dalamnya. Dimana
semuanya percaya adanya Tuhan, dan setiap apa yang terjadi adalah kehendak
Tuhan Yang Maha Esa. Semua percaya setiap manusia harus berlaku adil dan sesuai
adab yang mengaturnya. Semua percaya setiap manusia adalah saudara yang mesti
bersatu. Semua percaya setiap kebijakan diambil secara bijaksana, dengan cara berembuk
bersama agar nantinya dapat mewakili semua pemikiran yang ada. Dan semua
percaya setiap manusia harus diperlakukan secara adil sesuai aturan Tuhan yang
kemudian dijelaskan lagi oleh manusia.
Oleh sebab itu, kita tidak bisa
menyalahkan demokrasi secara mutlak. Sebab, tidak berpijaknya manusia-manusia
dalam bangunan demokrasilah yang membuat demokrasi tidak berlangsung secara
komprehensif, yang kemudian justru memberikan ruang lebar untuk disusupi
pembelok memberi dinding yang abstrak pada setiap ketegasan dengan
kesewenang-wenangan.
Mari sama-sama berpijak, sebab dinding
yang jelas dan nyata antara ketegasan dan kesewenang-wenangan dari Demokrasi
adalah nilai-nilai Pancasila.
0 komentar