Demokrasi Mimpi

10.42.00

Indonesia merupakan negara demokrasi. Di dalam negara demokrasi, maka partai politik merupakan sebuah kendaraan untuk masuk ke dalam pemerintahansebagai wujud dari demokrasi itu sendiri. Tapi sayangnya, banyak politikus amatiran yang salah mengartikan maksud kendaraan di sini. Mereka cenderung mengartikannya secara tekstual. Sehingga akhirnya banyak sekali poster-poster caleg yang mejeng di kendaraan-kendaraan umum. Padahal, sejatinya kendaraan di sini adalah media atau alat. Jika politikus amatiran ini saja sudah salah dalam menafsirkan kata, maka, apakah bisa mereka menafsirkan keinginan rakyat yang diwakilinya?

Kita semua tahu. Para politikus yang duduk di gedung parlemen adalah wakil-wakil dari rakyat. Setiap satu orang dari mereka mewakili beberapa rakyat untuk disejahterakan. Tetapi sekali lagi, mereka menafsirkan mewakili untuk disejahterakan itu hanya secara tekstual. Alhasil, mereka terus meminta negara menyejahterakan mereka atas dalih mereka adalah wakil dari rakyat. Kesejahteraan mereka adalah kesejahteraan rakyat. Padahal kenyataannya, yang sejahtera justru hanya mereka. Sementara rakyat yang diwakilinya? Sama sekali tidak.

Anggota DPR setiap hari datang ke kantor dengan mobil mewah. Sementara orang-orang yang diwakilinya hanya berjalan kaki ke kantor, menyebrangi jembatan rusak untuk sampai ke sekolah, naik kendaraan umum yang seperti barang rongsokan jika hendak bepergian, dan lain sebagainya. Apakah mereka merasakan hal yang sama dengan rakyat yang diwakilinya? Oh, mungkin pertanyaannya salah. Harusnya, apakah mereka mau merasakan hal yang sama seperti rakyat yang diwakilinya dan tanpa protes? Ya, tanpa protes. Seperti apa yang dilakukan orang rakyat-rakyat yang ‘katanya’ diwakili oleh mereka. Mendapatkan fasilitas buruk, tanpa bisa memprotes dan menuntut. Karena kenyataannya, setiap kali rakyat protes, toh, mereka-mereka yang berada di sana tidak sedikitpun mendengarkannya. Mereka sudah asyik dengan ponsel serta alam mimpinya ketika nasib rakyat sedang dibahas oleh mereka. Dan toh, mereka juga hanya mendengarkan apa kata partainya, bukan rakyat yang diwakilinya.

Bahkan jika para anggota dewan yang terhormat ini bertemu dengan preman pasar yang sering minta jatah kepada pedagang pasar di jalan, tentu saja mereka tidak akan dipalak. Yakali, preman pasar malak preman negara. Yang ada, preman tersebut hanya bilang. “Maaf pak, saya ini preman yang malak duit halal. Kalau saya malak bapak, yang ada dosanya double!”

Inilah demokrasi di Indonesia. Demokrasi ‘Mimpi’. Demokrasi yang hanya terus-terusan bermimpi untuk berdemokrasi.

You Might Also Like

0 komentar