Soe dan Keinginannya Bicara

06.01.00

Senin, 14 Januari 1963

            Akhir-akhir ini aku giat kembali di GMS. Aku diserahi tugas untuk mengkoordinasi rangkaian seri-seri ceramah yang mempunyai tujuan menanamkan sikap heroik di kalangan pemikir-pemikir muda. Mula-mula aku bertujuan dengan mengundang Sadli, Soedjatmoko, Said dan Wiratmo. Aku sebenarnya kurang senang dengan pemikiran-pemikiran Wiratmo. Aku tidak pernah mengerti apa-apa yang dikatannya ; juga rupa yang mau dia ungkapkan melalui diskusi-diskusinya.

            Sekarang keadaan makin parah. Rupa-rupanya pergulatan antara militer dan PKI harus menuju kepada titik-titik penentuan. Apakah titik itu berupa clash atau hanya di dalam, entahlah. Aku harap hanya di dalamnya saja. Harga-harga makin membubung, kaum kapitalis makin lahap makan rakyat dan OKB (orang kaya baru) mulai bertingkah. Dalam keadaan inilah seharusnya kaum inteligensia bertindak, berbuat sesuatu. Aku sekali-sekali tidak bermaksud menyuruh mereka berbuat konyol. Bidang seorang sarjana adalah berpikir dan mencipta yang baru. Mereka harus bisa bebas di segala arus-arus masyarakat yang kacau. Seharusnya mereka bisa berpikir tentang karena predikat kesarjanaan itu (atau walaupun merek bukan sarjana). Tetapi mereka tidak bisa terlepas dari fungsi sosialnya ialah bertindak demi tanggung jawab sosialnya bila keadaan telah mendesak. Kelompok intelektual yang terus berdiam dalam keadaan yang mendesak telah melunturkan semua kemanusiaannya. Ketika Hitler mulai membuas maka kelompok Inge School berkata tidak. Mereka (pemuda-pemuda Jerman ini) punya keberanian untuk berkata “tidak”. Mereka, walaupun masih muda, telah berani menentang pemimpin-pemimpin gang-gang bajingan rezim Nazi yang semua identik. Bahwa mereka mati, bagiku bukan soal. Mereka telah memenuhi panggilan seorang pemikir. Tidak ada indahnya (dalam arti romantik) penghukuman mereka, tetapi apa yang lebih puitis selain bicara tentang kebenaran.

            Aku kira kita juga di Indonesia sudah sampai saatnya untuk berkata ‘tidak’ kepada Sukarno. Memang Sukarno bukanlah Hitler bahkan dia adalah person yang begitu tragis dan harus dikasihani. Tetapi orang-orang sekelilingnya baik militer maupun sipil, adalah bajingan-bajingan yang tidak lebih berharga dari anjing kudis.

            Aku tidak tahu bagaimana tindakan-tindakan pemikir-pemikir kemanusiaan ini. Apakah mereka ada dan berani bicara jujur? Dengan mengecualikan pada Pak Said, barangkali sedikit sekali jumlahnya. Bahwa Sjahrir, Roem, Subadio, Agung, Prawoto dan lain-lain ditangkap di Madiun, merupakan tanda bahwa barangkali ada kelompok-kelompok itu. Tetapi ketika aku bicara tentang Agung dengan Tan Hong Gie, aku sangat kecewa. Agung tidaklah lebih dari pemimpin murahan yang hanya berani bicara tentang “imperialis Jawa”, seolah ia tidak berani melihat persoalan dengan baik dan mengidentifikasikan rezim gang Sukarno sebagai rezim Jawa.

            Kesalahan yang sangat menyedihkan. Mereka tidak mau melihat betapa menderitanya orang-orang di Jawa. Mereka telah diperas oleh raja-raja mereka, lalu oleh Belanda dan dari uang ini lalu Belanda bisa mendirikan apa-apa untuk dinikmati oleh seluruh Indonesia. Mereka berkorban ketika Revolusi dan sekarang masih terus diperas oleh rezim diktator sekarang. Kalau ada orang yang begitu rendah hati, orang Jawa-lah itu. Dan pemimpin-pemimpin yang berani bicara tentang imperialis Jawa sebenarnya bajingan murahan. Jadi kaum intelektual yang menyerang “rezim Sukarno dengan kedok Jawa”, bagiku sama dan bahkan lebih jahat dari garong-garong istana sendiri. Kekecewaan seperti inilah yang aku jumpai di PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia). Bagiku sungguh menggembirakan bahwa PRRI mati, karena mereka adalah racun dengan konsepsi anti Jawanya.

            Kaum intelektual yang tidak puas dengan situasi sekarang terdapat pula tokoh-tokoh daerah. Misalnya Mr. Aujong Peng Koen. Saya setuju dengan dia; dia sangat baik dan aku kagum pada dia. Tetapi sayangnya rupa-rupanya tertanam kebencian pada suku Jawa. Sayang sekali. Dalam keadaan seperti inilah seharusnya mereka bicara terhadap tugu-tugu Sukarno, terhadap istana-istana Sukarno dan terhadap pelacur-pelacur/isteri-isteri Sukarno. Kita sekarang memerlukan pabrik, jalan, pendidikan dan moral.

            Dan Sukarno memberikan istana, imoral, tugu-tugu yang tidak bisa dinikmati rakyat. Kita semua kelaparan. Dan dalam keadaan seperti ini intelektual bicara secara jujur dan benar. Bahwa mereka takut, mungkin, tetapi tentang….? harus mengatasi ketakutan. Akhir-akhir ini aku ingin mempublikasi suatu seruan terhadap keberanian bicara, yang kalau bisa dipublikasi. Aku kira tak ada yang mau memuatnya. Kita perlu konsepsi dewasa ini. Segala usaha yang bisa kita lakukan harus dikerahkan untuk bisa melahirkan. Dan untuk aku, yang harus dilakukan adalah belajar dan menacoba mengerti persoalan-persoalan dewasa ini. Bersama Ong (atas anjuran Soedjatmoko), kita mencoba membentuk studi-klub. Harapannya supaya kita bisa mendapat gambaran dan mengerti persoalan-persoalan sekarang. Direncanakan peserta-pesertanya Ong Hok Ham, aku sendiri, Soemitro, Oetojo, D.A. Peransi, seorang islam yang teguh kawan Oetojo, Parsudi Suparlan, Kartjono, Karjoso, dan mungkin Drs. Pek Hin Liang dan Dr. Sidjabar. Tetapi dua terakhir ini ditentang Ong.


[] Soe Hok Gie. Catatan Seorang Demonstran, Halaman 143.  

You Might Also Like

0 komentar