Anjing yang Dirantai

15.38.00

Soe Hok Gie merupakan sosok mahasiswa sekaligus kritikus tajam yang tidak pernah takut akan apapun. Di masanya, Soe tidak pernah lepas dari tumpukan buku yang ia jadikan dasar sinismenya terhadap pemangku kekuasaan. Berbagai tulisan bahkan sengaja ia buat untuk membuka mata rakyat, bahwasanya ada ketidakberesan terjadi di Negara ini. Ia membaca, menyimpan, melihat, menganalisis, dan kemudian menulis. Dasar yang ia miliki hanya satu, yaitu penalaran. Soe mempunyai penalaran yang luar biasa. Ia mampu melihat hal kecil dari suatu hal yang tidak orang lain lihat dan ketahui. Untuk soal keunggulan, ia adalah orang yang netral. Ketidakberpihakannya terhadap golongan apapun membuatnya lebih berani menuliskan kejujuran.

Hal yang bisa saya ambil dari sosoknya adalah apapun yang salah adalah salah, kita tidak boleh terus diam. Munafik membuat kehidupan terasa seperti hal yang ‘tolol’, dan diam membuat kehidupan menjadi tidak memiliki arti. Kita seharusnya bisa memiliki yang lebih dari ini, tapi diam membuat kita memelihara dan menerima keburukan begitu saja.

Seorang mahasiswa sejatinya memiliki rasa ingin mengkritisi yang lebih tinggi. Mereka tidak akan pernah bisa diam tersenyum pada kebodohan yang terpelihara. Namun, Indonesia sudah berubah sekarang. Mahasiswa masa kini cenderung berjiwa hedonisme. Mereka lebih sering berlomba menjadi bintang karena cover-nya. Saya tidak mengerti ada apa dengan penghayatan mahasiswa saat ini tentang fungsi dari dirinya—sebagai mahasiswa.

            Bukan hanya itu, sebagian besar dari mereka hanya ingin lulus—dengan nilai pas-pasan pun tidak apa. Entah ketololan apa yang merasuki mahasiswa dewasa ini. Mungkin sikap mahasiswa saat ini tertahan oleh sikap sebagian besar para dosen yang tidak pernah bisa mendukung dan mendorong jiwa kritis anak didiknya. Dosen-dosen lebih ingin mahasiswanya tidak terlalu aktif dalam dunia di luar perkuliahan. Oke, mungkin itu benar, tapi bagi saya itu salah besar. Perkuliahan tidak harus selalu materi dan teori dalam kelas. Saya jamin, duduk diam memperhatikan tidak begitu membuat mahasiswa mengerti materi. Bahkan akan sama saja juga jika diadakan diskusi. Pemikiran kritis mahasiswa tidak akan terlihat sekalipun dalam keadaan seperti itu kalau dia tidak dibebaskan untuk mengkritisi lebih luas. Karena bagaimanapun terkadang seorang dosen selalu sok benar. Dia selalu memaksakan pemikirannya adalah yang terbenar dalam sebuah diskusi. Oleh karena itu, saya kadang berpikir, apa gunanya seorang mahasiswa ini jika dosen selalu dianggap yang paling benar. Yang saya tahu, pendidikan formal itu harusnya membuat kita berpikir mana yang benar dan mana yang salah sendiri dengan kemampuannya masing-masing. Simpel, kita punya akal tapi kita malah diam. Buat apa Tuhan menciptakan akal kita kalau begitu?

Batas tahun untuk mahasiswa bisa lulus juga bisa menjadi ketidaktertarikan mereka dalam dunia kritis-mengkritisi. Ketakutan tidak bisa lulus membuat mahasiswa seperti anjing yang dirantai. Aturan macam apa coba, waktu kita dibatasi untuk belajar? Ini diskriminasi sebenarnya. Jelas, kalau kita sudah berusaha keras tapi sudah melewati batas waktunya untuk berkuliah kita didrop out begitu saja. Lalu, apa kabar uang yang sudah dia keluarkan? Bukan salah dia kalau dia tidak mampu menyelesaikan tepat waktunya. Pendidikan di Indonesia terlalu memandang kecerdasan dari segi IQ daripada perbuatannya.

Permasalahan diri mahasiswa memang sudah semakin kusut akhir-akhir ini. Tetapi, jika setiap mahasiswa sadar akan kapasitasnya sebagai ‘anjing’  buas, dia tidak akan diam saja melihat karut-marutnya orang-orang tua tidak tahu diri di tempat yang—orang bilang— terhormat sana. Saya rasa, anak muda di Indonesia jangan pernah menjadi seorang mahasiswa kalau kalian bukan idealis sejati. Lebih baik kalian jadi budak-budak cukong! Seperti kebanyakan orang desa yang berbondong-bondong memenuhi kota. Jiwa mahasiswa yang saya tahu itu berani bersuara. Bukannya berjiwa ‘pengecut’ seperti para mahasiswa hedonis tolol yang diam saja melihat ketimpangan yang ada dan malah menikmati dunia dengan—kesemuan yang mereka sukai.

You Might Also Like

0 komentar