Dia Nyata
14.52.00
Tuhan
menciptakan makhluk di muka bumi ini bermacam-macam, dan pasti selalu ada satu
dari begitu banyaknya makhluk itu yang diciptakan paling istimewa oleh-Nya.
Untungnya, aku memiliki salah satu dari mereka. Meisya, dialah sosok itu. Sosok
yang begitu menyayangiku. Aku sudah mengenalnya sejak aku kecil, saat orang
tuaku memperbolehkan aku keluar rumah untuk pertama kalinya. Meisya…adalah seorang
wanita yang jauh berbeda dari wanita-wanita yang kukenal sebelumnya. Bukan
karena ia selalu menjadi teman setiaku sejak kecil. Bukan pula karena dia
selalu ada di tengah waktu sepiku tanpa kedua orang tua. Ya…ia memang selalu
ada untukku, bahkan waktunya untukku melebihi waktu yang disempatkan oleh
mereka, orang yang memilikiku sebenarnya. Sekali lagi kutegaskan, bukan karena
itu, tetapi karena ia memang berbeda dengan arti yang sebenarnya.
“Mei,
temenin aku jajan yuk!”
“Mei,
aku bingung nih sama soal ujian yang ini…”
“Mei,
aku gak bisa tidur…”
“Mei,
besok aku ulang tahun. Jangan lupa kadonya, ya! Hihihi”
Itulah
aku, sebagian besar kehidupanku diisi oleh Meisya. Mungkin, bisa dibilang tidak
ada satupun hal yang tidak ingin aku lakukan bersamanya. Sejak dulu, sosoknya tidak
pernah berubah. Perhatian…bijaksana…juga penuh senyum…ah, yang terakhir itu
yang paling kusuka dari dirinya. Tidak seperti kedua orang tuaku yang hanya mengisi
satu nanofarad kehidupanku. Tanpa
adanya Mei, mungkin aku tidak akan bisa hidup seperti ini. Mungkin aku hanya
akan menjadi seorang anak kecil pendiam yang kekurangan perhatian.
Saat
ini, umur kami sama, 21 tahun. Umur yang kata orang tepat untuk saling
mengasihi satu sama lain, atau bahkan untuk saling mengikat. Selama aku hidup,
tidak pernah ada satu orangpun yang bisa benar-benar berteman denganku seperti
Meisya. Mereka hanya bisa mengataiku aneh, dan memvonisku sebagai orang sedeng. Bahkan, beberapa dari mereka
hanya datang saat pekan ujian tiba, atau ketika ada barang yang ingin mereka
pinjam dariku. Meskipun begitu, aku tetaplah aku. Aku yang selalu memiliki
nilai akademis di atas rata-rata, tentu itu berkat Meisya yang selalu
mengajariku banyak hal. Jelas saja, Meisya merupakan mahasiswi Hubungan
Internasional di Perguruan Tinggi paling bergengsi di Indonesia. Wawasannya
sangat luas sehingga tidak aneh kalau dia terus mencekokiku dengan pengetahuan-pengetahuan
baru. Sangat berbeda dengan Mama, yang bisanya hanya memaksa anaknya untuk
belajar tanpa pernah mau mengajariku sendiri, anaknya. Aku benci dia! Aku benci
kedua orang tuaku. Mereka hanya bisa mengatur kehidupanku, tanpa pernah tahu
mauku apa, tanpa pernah tahu keadaanku seperti apa.
…………
“Mei,
aku mau beli makanan di warung nasi seberang sana. Kamu mau ikut?” Meisya
menggelengkan kepalanya, “Aku nunggu di sini aja…kamu gak apa-apakan kalau
pergi sendirian?” Aku tersenyum, “Iya…ya, maksud aku kali aja gitu kamu mau so sweet-so sweetan di jalan berdua sama
aku. Hehehe. Ya sudah, tungguin aku ya!” Meisya tertawa kecil mendengar aku
berkata seperti itu. Aku memandanginya sebentar sebelum pergi. Tuhan, betapa aku
menyayanginya…betapa aku ingin benar-benar selalu bersamanya…
Teriknya
matahari siang itu membuat tanganku tak pernah berhenti mengusap peluh yang
terus membasahi keningku. Belum lagi kendaraan bermotor yang ramainya melebihi
biasanya, bersliweran dengan kencang menghambat langkahku. Di tambah debu dan
asap knalpot mereka yang nampaknya melengkapi penderitaanku kali ini. Dengan
hati-hati aku menyebrangi jalan yang padat ini. Di tengah-tengah langkahku, tiba-tiba,
“brak…” ada sebuah kecelakaan di
sana, di arah sebelah kiriku, letaknya tidak jauh dari tempatku berdiri. Tubuhku
terpaku memandangi mereka. Terlihat dengan jelas orang berangsur-angsur
berkerumun di tempat kejadian. Ah, untuk apa aku ke sana, aku kan harus beli
makanan. Kasihan Meisya, nanti dia malah bosan kelamaan menungguku. Oh iya, aku
lupa kalau sedang menyebrang di jalan dengan lajur berlawanan. Namun, belum
sempat aku melangkah setelah tersadar, sebuah mobil yang melaju dengan cepat
tiba-tiba tampak begitu jelas terlihat oleh kedua retina mataku. “Astaga, mobil
itu sangat dekat dengan tubuhku,” gumamku sambil membelalakkan mata. Terlihat
pula wajah kaget pengendara mobil itu dari balik kaca mobilnya. Dan…suara
benturan tubuhku yang diiringi dengan lengkingan rem dari mobil itu terdengar
jelas setelahnya. Aku tidak bisa menghindar.
“Fiz,
Hafiz…bangun, Fiz…” wajah Meisya terlihat jelas di bawah silauan cahaya putih
di atas sana. “Mei, aku dimana? Aku kenapa?” dengan wajah bingung aku mencoba
mengingat hal apa yang terjadi sebelumnya. “Kamu masih di tengah jalan mau ke
warung nasi,” jawaban Meisya tidak membuatku puas. Kupandangi suasana di sekitarku.
Aku masih terbaring, tapi aneh, kenapa banyak orang yang mengelilingiku. Sebagian
dari mereka menangis sambil melihat ke arahku. Bahkan ada juga yang mendekat
hendak mengangkat tubuhku. “Lho lho…Mei, apa-apaan sih mereka?!” aku masih
tidak tahu dengan apa yang terjadi, sementara Meisya hanya diam menatapku
dengan air matanya yang begitu deras mengalir. “Mei! Mei! Kok mereka maksa
ngangkat tubuhku?! Lho…” leherku seperti tercekik kencang. Terlihat dengan
jelas tubuhku diangkat pergi oleh mereka. Ah, air mata itu…kecemasan itu…benarkah?
Mataku
langsung bergerak cepat ke arah Meisya, yang hanya menunduk sedih. Ia hanya
bisa menganggukkan kepalanya mengiyakan. Jadi…ternyata benar, yang mereka bawa
itu adalah tubuhku. Sementara aku yang terkulai lemas di jalanan ini, ah, jelas
saja tidak mereka sadar akan keberadaannya…
Air
mataku mulai terjatuh, “Ma…pa…” ucapku lirih. Tanpa menjawab, Meisya lalu
menggenggam tanganku, nampaknya ia tahu apa yang kurasakan saat ini. Ia usap pipinya,
berusaha menghentikan air mata yang ingin ia sudahi.
“Sudah…kali
ini biarkan aku yang menggantikan mereka untuk benar-benar menemanimu,” perlahan,
senyumnya kembali muncul. “Mei, ternyata mereka salah udah bilang aku gila
karena sering ngobrol sama kamu…ternyata kamu bukannya gak ada, kamu hanya gak
mereka liat. Dan sekarang, akhirnya aku bisa bener-bener nyentuh kamu, Mei.”
tanganku tenpa henti memegangi seluruh bagian wajah Meisya. “Aku enggak
percaya. Sekarang, ini nyata!” Tidak ada lagi kata-kata yang keluar dari mulut
kami berdua. Yang kami lakukan hanya tersenyum, menikmati keadaan ini.
Tidak lama,
Meisya mengisyaratkanku agar bangkit dari posisiku saat ini. Kupaksakan tubuhku
berdiri. Kemudian, kulangkahkan kakiku beriringan tepat di belakang Meisya, yang
selama ini semua orang anggap hanya teman khayalanku. Dengan erat ia
mengganggam tanganku untuk terus melaju, melangkah ke tempat dimana seharusnya
aku berada sekarang.
Terima
kasih Tuhan, Engkau telah menciptakan makhluk istimewa seperti Meisya, dan
menakdirkannya untuk menjadi pendampingku…
Mama…Papa…suatu
saat nanti, akan kukenalkan wanita istimewa yang kusayangi ini kepada kalian.
0 komentar