Sia-sia

23.00.00

“Sejatinya, cinta yang sebenarnya tidak akan pernah menyerah meskipun panah jarak begitu panjang terbentang. Mereka pasti percaya dan menjaga dirinya untuk satu cinta yang saat ini mereka jalani. Ia tidak akan tergiur oleh cinta yang lain yang mencoba datang mengetuk. Jika pasanganmu menyerah, kamu tidak patut mempertahankannya. Pertahankanlah orang yang juga berusaha bertahan sama sepertimu. Karena ketika itu kamu bukan tidak tulus mencinta, tapi kamu hanya menegaskan bahwa kamu tidak layak disia-siakan.”

Awalnya aku mengira itu hanya kata-kata biasa. Yang ada dalam pikiranku hanya aku mencintainya, dan aku ingin selalu bersamanya, meskipun ia seperti ingin mengakhirinya. Biar bagaimanapun, Mei adalah alasanku sampai saat ini untuk tetap bermimpi. Dua tahun kehidupanku dengannya memang penuh lika-liku. Berkali-kali ia sempat memiliki pria lain. Bodohnya, aku selalu memaafkan. Aku selalu percaya padanya. Aku yakin dia juga memiliki keinginan yang kuat untuk bertahan. Dan mengakhiri hubungan ini dengan hubungan yang lebih indah.

Dua bulan ini aku dan Mei mulai jarang berkomunikasi. Sekalipun berkomunikasi, itupun hanya seperti minum obat. Tiga kali sehari, hanya lewat sms pula. Dia lebih sering menghilang. Sejujurnya, aku mulai kehilangan kasih sayangnya. Sering aku menangis menanti kabarnya, sekalipun aku sedang berada di dalam keramaian. Pernah aku bertanya kepada temanku, apakah jarak Pontianak-Jakarta terlalu jauh? Apakah cinta akan kalah dengan jarak? Apakah cinta yang kini bermandikan jarak yang sudah dilalui dengan begitu sulit, akan kalah dengan cinta yang lebih dekat?

Pernah sesekali aku mengirim surat kepadanya, namun tetap tak disambut jua. Ada apa sebenarnya dengan Mei? Selalu aku bertanya, namun tetap saja jawabnya sama. Aku masih sama. Begitu pula rasaku padamu, tidak pernah berubah. Benarkah? Sialnya aku terus mempercayai kata-katanya.

Terkadang, jika ada waktu luang aku pergi ke Pontianak hanya untuk bertamu ke rumahnya. Mencari kehadirannya, yang ternyata tetap saja tidak kunjung kutemui. Sedang apa dia sekarang? Mengapa kehidupannya begitu sulit kutemani? Sampai saat ini jawabnya tidak pernah kudapatkan.

Ingatanku satu-persatu mulai menghilang. Sepertinya aku mulai menyerah menanyakan masihkah aku dan Mei saling mencintai. Hatiku terasa kehilangan wujud Mei. Apakah cintaku untuk Mei mulai luntur? Aku tidak tahu persis. Tapi jika harus kutebak, sepertinya iya. Ketakacuhan Mei membuat aku putus asa menanti. Bahkan, untuk sekedar mengirim pesan padaku saja, Mei tidak pernah melakukannya lebih dahulu, selalu harus aku yang memulai. Aku lelah bersikeras bertahan tanpa kutahu keinginan hati Mei yang sebenarnya.

Sampai akhirnya, beberapa bulan kemudian. Aku memutuskan untuk tidak peduli lagi dengan Mei. Sekalipun dia mengirim pesan atau menelponku, aku tidak pernah lagi mempedulikannya. Hatiku mulai mencoba membersihkan sisa-sisa kehadiran Mei. “Maaf. Tapi hidupku tidak hanya sekedar menangisimu. Jika saat ini aku berjalan sendiri, itu karena aku lelah menunggumu menanggapiku. Ibarat sebuah balon, aku kini terbang mengikuti angin yang menuntunku, tidak lagi ada kamu, benang yang mengikatku di bumi. Aku ingin terikat dengan orang yang benar-benar berniat mengikatku, bukan orang yang tidak pernah berusaha menjaga ikatanku.” ucapku dalam hati. Kuletakkan lagi telepon selulerku, dan kembali mengikuti percakapan seru yang sedang aku lakukan dengan mereka yang selalu menguatkanku. Teman-teman. Atau mungkin selayaknya aku anggap sahabat. Sempat terlontar pertanyaan dari salah satu di antara mereka yang melihat mataku terselip kata-kata kepedihan, "Ada apa?". "Ah enggak." tegasku tersenyum. Semuanya sudah berubah. Aku ingin, akan, dan pasti melanjutkannya. Tanpamu, Mei.

You Might Also Like

0 komentar