Sandaran, atau Buangan?

02.24.00

Ferin, masih saja menangis di ujung telepon. Kata-katanya mulai parau. Nafasnyapun tersengal-sengal. Kalau boleh aku menyimpulkan, aku yakin matanya sebak karena menangis. Aku tahu, wanita itu hanya ingin keberadaanku. Ia hanya ingin ada seseorang yang memeluk menenangkannya tanpa harus berkata banyak. Aku merasakan pintanya, walau hanya dalam bentuk air mata. Karena aku sudah sangat mengenalnya.

Sebenarnya, ingin sekali aku menjadi pahlawan dengan berada di sampingnya saat ini. Tapi keadaan memaksa kami hanya sekedar bercerita dan menasihati. Meskipun aku tahu, ceritanya selalu saja tentang hal yang sama. Kesal, tentu saja. Entah sudah berapa banyak saran yang kuberikan, namun tetap saja dia bersikukuh dengan alasan hatinya itu.

Ingin sekali aku berteriak, bodoh! Di telinganya. Bagaimana tidak, Ferin selalu saja memaafkan kekasihnya itu, sekalipun ia tidak pernah ada untuknya. Sementara aku, orang yang selalu ada untuknya tidak pernah iapedulikan. Mungkinkah ia tidak sadar aku mencintainya? Sahabat yang selalu ada untuknya sejak lima tahun yang lalu.

Fe, dengan nama cinta yang membuatku tidak berdaya,
Aku ingin kamu tahu
Rampaslah hatiku!
Milikilah masa depanku!
Jika kauberniat sejenak saja melihat ke arahku, kamu akan tahu cinta ini tulus untukmu.
Cintaku lebih indah dari apa yang kaudapat darinya.
Cintaku lebih membuatmu hidup dibanding apa yang kamu harapkan dari dia.
Harus sampai kapan aku berpura-pura tidak merasa sakit saat kaubercerita tentangnya?
Ketahuilah, aku tidak hanya hadir untuk mendengarkan ceritamu.
Tetapi aku juga hadir untuk menemani kehidupanmu, saat ini, yang akan datang, dan selamanya.

*****

“Jika cinta memang tak pernah membuatnya peka, katakanlah! Jika cinta memang tak pernah membuatnya sadar, beritahulah! Sekalipun memang benar cinta tidak boleh dipaksakan, tapi cinta juga harus diketahui keberadaanya. Agar kita tahu, apa harus disambut atau dibuang.”

You Might Also Like

0 komentar