Pulanglah, Sayang

08.10.00

Mungkin saat ini kamu sedang berjalan menyusuri garis tepi laut biru muda disana, merasakan setiap butir pasir yang kauinjak, yang menyelinap di sela jemari kakimu. Mungkin pula saat ini, kamu sedang duduk manis di batu karang, sambil melengkungkan senyum pada langit sore, yang menghadiahimu sebentang senja kemerahan, lengkap dengan tujuh warna busur pelangi, serta berpasang-pasang burung di sekelilingmu, dan perahu-perahu nelayan yang lalu-lalang tanpa lelah.

Aku harap kamu seperti itu. Setidaknya, dengan membayangkan kamu mengekal dalam bahagia, jiwaku sudah sepakat untuk berdamai dengan hati. Iya, itu saja sudah cukup membuat aku mengeraskan tekadku kembali pada mimpi-mimpiku, juga mimpi-mimpimu terhadapku, dengan kembali melanjutkan hidup, yang sudah terlanjur hambar. Maafkan aku, yang masih saja menangis, saat mata ini mengirimi otakku cuplikan manis tentang bagaimana kecupan kecilmu di pagi hari, kecupan yang kaunamai sebagai rasa yang mengucap selamat pagi.

Aku merindukanmu, sayang. Memang, saat ini sebuah rindu menjadi hal yang sulit untuk dipahami. Sudah tidak lagi sesederhana mereguk segelas kopi hangat, di sebuah kafe sudut jalan. Kamu tahu? Aku selalu memimpikan kamu pulang. Selalu berharap orang yang mengetuk rumahku itu adalah kamu. Bahkan sesekali aku duduk siaga di sofa ruang tamu hingga larut malam, ditemani pula oleh lagu Maybe You’ll Be There dari Frank Sinatra, hanya untuk menunggumu datang. Sayangnya, aku hanya sanggup berharap kamu ada di balik pintu rumah, tanpa menyadari bahwa kenyatannya itu tidak akan pernah terjadi.

Pulanglah, sayang! Pulang ke rumah. Pulang ke tempat dimana hanya akan ada kita, tungku perapian di depan sofa, yang kita duduki sambil meminum secangkir Hot Chocolate, untuk menghabiskan waktu bersama, sampai kita tertidur dengan selimut tebal cokelat tua. Apakah ada surga yang lebih indah dari itu? Kalaupun memang ada, aku tidak peduli. Aku akan tetap memilih surgaku sendiri, bersamamu.

You Might Also Like

0 komentar