Surat Untuk, Dii #3

17.51.00

Dii, sedang apa kamu, sekarang? Aku rasa, pada jam-jam segini biasanya kamu sedang rapat, iya, kan? Oh iya, aku mau cerita. Belakangan ini aku sedang suka sekali dengan lagu Tak Pernah Ternilai, dari Last Child. Entah kenapa, begitu pertama kali aku mendengarkan lagu ini aku langsung teringat semua hal tentang kita—tentang kamu yang tak mengacuhkan aku lebih tepatnya. Memang, semua liriknya tidak benar-benar menggambarkan teantang kita, tapi aku merasa tertampar setiap kali aku mendengar bait pertama dari lagu ini—kau menyiksaku di sini, dalam rasa bersalah yang kini membunuhku secara perlahan. Kau selalu menghindar dari aku yang selalu mencoba ungkapkan semua lewat tatap mata ini. Ternyata maafmu tak pernah pantas untukku. Kau anggap aku tak ada, dan kau tak pernah mengenal diriku.

Dii, harus aku bilang berapa ribu kali lagi agar kamu percaya bahwa aku tidak bermaksud mempermainkan hatimu. Aku memang mencintaimu, Dii. Itu benar. Karena, ketika melihat tingkah malu-malumu saat kita sedang makan berdua untuk pertama kalinya dulu, rasa itu sudah mulai hadir. Aku suka melihatnya. Senyummu tulus.

Dii, aku ingin mengurai seluruh kenangan kita. Tapi aku khawatir itu hanya akan memperparah benakmu yang masih belum bisa memilah dengan jernih mana yang manis dan mana yang pahit. Aku takut air mata semakin deras jatuh dari matamu.

Apa kamu mau memaafkan aku? 

You Might Also Like

0 komentar