Keputusan adalah Kepastian
20.20.00Sebuah keputusan tidak mungkin
dihasilkan dari pemikiran yang gegabah. Keputusan adalah kepastian, bagi
saya.
Minggu-minggu
ini, saya merasa ada ketidaknyamanan dalam diri saya pada keluarga
besar. Saya mulai terkekang, untuk urusan prinsip dan jalan hidup. Semua
anggota keluarga besar saya tidak ada yang setuju saya melanjutkan kuliah S2
—dengan niat mengambil jurusan Hukum atau Ilmu Politik atau jurusan sejenisnya.
Pada dasarnya mereka mengharapkan saya setelah lulus S1 langsung bekerja —jadi
guru, sama seperti Ayah, Om, dan Tante saya. Sejujurnya, bukannya saya tidak
mau, tapi hati saya berkata jalan saya bukan di situ. Saya bukan tipe orang
yang suka dikekang aturan dalam hal pekerjaan. Saya lebih suka keadaan yang
tidak terlalu serius, seperti ada sisipan guyonan atau intermeso santai —dan
sedikit freak. Bagi
orang-orang yang berada di sekitar saya pasti tahu itu. Mereka bisa melihat
dengan jelas kelakuan saya seperti apa —orang bilang, sih, kayak anak alay.
Memang,
kelemahan saya adalah tidak betah berada pada forum yang sangat serius. Sedikit
berguyon, saya pasti dianggap melecehkan forum. Saya tidak suka dianggap
seperti itu. Padahal itulah saya yang sebenarnya. Bercanda saat presentasi,
melawak saat berdiskusi, dan melakukan hal bodoh kapan saja semaunya. Keluarga
besar saya juga tahu dan sadar kalau saya begitu freak-hyperaktif.
Karena saya satu-satunya orang di keluarga besar yang tidak punya rasa malu dan
canggung berhadapan dengan orang baru, atau orang yang lebih tua.
Kembali
ke masalah pertentangan masa depan saya nanti. Kesimpulan yang saya ambil dari
ucapan-ucapan mayoritas keluarga besar saya adalah mereka menganggap kuliah itu
tidak perlu tinggi-tinggi, toh, ujungnya pasti kerja. Buat apa menjejerkan
gelar di belakang nama, kalau tidak bekerja cari uang. Saya menyela, dan mulai
berkoar. Saya bilang kalau kuliah bukan untuk cari uang atau gelar di belakang
nama. Saya kuliah untuk otak saya —mendapat ilmu, pengetahuan dan wawasan. Saya
tidak masalah keluarga besar saya meminta saya hidup sendiri. Bagi saya, hidup
itu tidak mesti soal melakukan untuk mencari uang, tapi bagi saya hidup adalah
melakukan dengan hati sekalipun tanpa uang. Sesungguhnya, lebih mulia orang
yang mati kelaparan karena tidak memakan hal yang tidak baik, daripada hidup
penuh kecukupan dari hasil yang hitam. Di
mata saya, bekerja sebagai guru —di bawah pemerintah, sekarang ini sangat susah
lepas dari uang gaib.
Sistemnya
sudah terlalu memaksa kita dapat upah dari keburukan. Semangat mendidik dan
mengajar guru-guru di Indonesia sudah terlalu kacau menurut saya. Pikirannya
hanya kerja semaunya yang penting dapat uang-uang-uang-uang-dan-uang. Jujur,
saya sangat senang dengan banyak bermunculannya gerakan mahasiswa dan anak muda
yang mengajar suka rela di berbagai tempat. Bahkan mereka bersedia ditempatkan
di daerah terluar, dan terpencil dari Indonesia. Guru dari seperti inilah yang
lebih saya minati. Saya juga sempat berkata keras kalau saya tidak mau bekerja
jadi budak —dipaksa tunduk kepada orang yang memanfaatkan kekuasaan. Bahkan,
menjadi seorang buruh bagi saya hanya pekerjaan para pecundang. Saya tidak mau
melanggengkan watak-watak orang jajahan. Disuruh sana-sini—ini-itu oleh orang
asing —di tanah sendiri. Para pemikir didepak dan tidak pernah diperhatikan,
sementara orang-orang busuk
disuburkan. Kenapa paradigma orang Indonesia begitu ludah?
Niat
saya untuk melanjutkan ke jurusan Hukum atau Ilmu Politik semata-mata karena
itu adalah jalan yang saya rasa tepat untuk mengubah paradigma —jiwa jongos
orang-orang Indonesia. Dengan hukum, dan kekuasaan, kita bisa mengarahkan
segala macam hal. Ini yang jadi titik berat saya. Dan keputusan itu adalah
hasil akhir pemikiran idealis saya yang realistis. Saya yakin saya bisa. Dengan
memilih jurusan Kimia saat SNMPTN yang ditentang keras Ayah saya —karena nilai
ketika SMA tidak begitu menonjol dan bahkan di SMP saya tidak mendapatkan mata
pelajaran ini pula, ternyata saya bisa membuktikannya dan saya bisa masuk
jurusan itu. Kali ini, sekalipun saya bukan mahasiswa S1 jurusan yang jurusan
S2-nya saya minati, saya pasti bisa mengulang kesuksesan SNMPTN itu. Terlebih
lagi sejak SD sampai sekarang saya juga mampu membuktikan kalau saya mampu
mendapat prestasi akademik yang memuaskan dan lebih dominan dari kakak saya.
Selalu peringkat satu sampai kelas 5 semester satu, dan selanjutnya menjadi
peringkat dua sampai lulus SD. Kemudian selalu masuk tujuh besar di SMP dan
SMA. Dan sekarang saya buktikan saya mampu mendapat Indeks Prestasi yang baik di
dunia perkuliahan. Lalu, apa yang mereka khawatirkan? Apa saya ini bodoh?
Sekalipun saya bodoh, saya masih percaya bahwa saya bisa. Saya yakin itu.
0 komentar