Selamanya, Atau?

09.24.00

Aku masih menunggu pesan singkatmu yang sejak kemarin malam tidak mengisi kotak masukku. Sudah sehari memang, sampai malam ini tetap saja aku tidak mendapati pesanmu untukku. Akhir-akhir ini aku sulit tidur, nafsu makanku juga hancur, ditambah masih banyak hal yang harus aku kerjakan. Salah satu hal yang membuatku rela tidak tidur semalaman adalah menunggu pesan singkatmu, ya, hanya sesimpel itu. Entah apa yang kaulakukan di sana, aku masih membuka mataku hingga gema azan terdengar di telingaku. Dalam jarak yang jauh ini, memang tidak banyak hal yang bisa kita lakukan, selain melihat dan mendengar; tanpa hadirmu, tanpa hadirku, yang bertemu. Tahukah kamu, semua yang kita lakukan itu sangat jauh berbeda dengan dua anak manusia yang saling bertemu dan bertukar cerita. Iya iya, aku selalu tahu apa yang akan kamu katakan ketika aku membahas tentang rinduku yang sudah tak tertahankan, “Sabar”. Katamu halus memberi pengertian.

Sampai saat ini, kita masih terus berjuang melewati yang kadang tidak pernah kita minta untuk terjadi. Datang tanpa melapor, dan berkata permisi. Ini bukan salah kita. Seharusnya kita sudah tahu apa yang harus kita lakukan untuk menghadapinya, ya, seharusnya. Terkadang kita memang egois dan tidak mempedulikan apa yang pernah kita lewati. Indahnya, manisnya, dan bahagianya; yang terlihat hanya perih dan pahit. Meskipun sejauh ini perjuangan kita belum sia-sia. Tapi, tidak dapat aku pungkiri, aku membaca guratan ketidakyakinan di lekuk wajahmu. Memang manusiawi jika manusia mempunyai rasa tidak yakin, karena memang semua yang terjadi tidak akan pernah pasti; sebab kita tidak tahu awal dan akhirnya.

Hai Nona, masihkah harus kuberjuang sampai aku berdarah seperti ini? Masihkah aku harus berjuang melewati jalur yang selalu saja membuat aku terbentur berkali-kali? Aku hanya seseorang yang jatuh cinta, bukan seorang tahanan yang kerjanya memang selalu disiksa. Berkali-kali kaukatakan, tidak perlu aku masuk ke dalam labirin yang tidak memiliki jalan keluar. Tidak perlu aku masuk ke lingkaran yang tidak akan pernah ada sudut-sudutnya. “Aku (masih) ingin berjuang.”, kataku lelah.

Ternyata aku tidak seperti yang kubayangkan sebelumnya, aku lebih kuat dari yang kukira. Aku masih berjalan di sampingmu. Aku masih mau memakan ratusan kilometer jarak yang membentang, pergi bersama matahari terbit, pulang bersama matahari yang sudah tertidur. Dan aku masih mau memberi rasaku satu-satunya kepadamu. Sebentar, ngomong-ngomong sudah berapa lama kita bersama? Lebih dari yang pernah kulalui sebelumnya, dan lebih dari yang pernah kaulalui sebelumnya. Kali ini kita melalui semuanya lebih dari apa yang kita lalui bersama orang lain. Yang pasti, kebersamaan itu bukan sebuah kalkulasi waktu yang kita lewati. Kebahagiaan juga bukan hitung-hitungan yang bisa dijabarkan dengan logika.

Malam ini, aku merasa kamarku begitu dingin. Kantung mataku menebal. Warna hitam menghiasi kulit bawah mataku. Garis-garis merah juga mulai memenuhi mataku. Ada sedikit goresan di pelipis mataku, berdarah. Ah ini cukup perih. Entah siapa yang menjadi penyebab semua itu. Ini bukan salahmu. Ini salahku yang terlalu merasakannya berlebihan. Aku memang bodoh, tidak bisa membawa rasaku sendiri lebih dewasa. Terkadang, kebodohan dalam cinta justru nampak sangat manis, pikirku.

Setelah lebih dari seribu hari kita lewati semua bersama, yakinkah ada kebahagiaan di ujung jalan ini? Sesudah berbagai badai yang kita terjang, akankah kita tidak akan bertemu lagi dengan badai-badai yang lebih mengerikan dari sebelumnya? Tidak ada yang pasti, Nona. Yang kita lakukan hanya melangkah. Menikmati (mungkin) segala sesuatunya. Dan mulai memasrahkan hal yang harus kita terima (andai aku bisa).

Sampai kapan kita bersama? Satu, dua, tiga, empat, lima, … atau selamanya? Sampai kita berbaring di tempat tidur yang sama, di temani jagoan-jagoan yang akan melindungi kita ketika kita mulai rapuh? Sampai kapan kita bisa terus menyatu? Sampai aku tidak mampu berjalan dan hanya memeluk erat tubuhmu ketika cahaya matahari menyelip di jendela rumah kita? Sampai kapan perasaan kita bertahan? Sampai nisan menancap di tempat tidurku? Atau sampai nisan yang menancap di tempat tidurmu?


Nampaknya aku terlalu banyak bermimpi tentang sebuah kebahagiaan yang bisa aku dapatkan dengan bersamamu. 

You Might Also Like

0 komentar