Kenaikan BBM dan Apa yang Terjadi Setelahnya
10.25.00
Pak
Presiden yang baik,
Tentang
kenaikan harga minyak, kami mungkin tidak pandai berhitung: bagaimana
sebenarnya harga minyak ditentukan? Bagaimana neraca perekonomian nasional
diperlakukan? Atau pertimbangan apa yang dipakai sehingga satu-satunya pilihan
untuk ‘menyelamatkan seluruh bangsa’ harus sama dan sebangun dengan menaikkan
harga-harga? Bagi kami, angka-angka selalu terdengar sebagai ilusi belaka, Pak.
Setiap hari kami mendengar satuan ‘miliar’ atau ‘triliun’ disebutkan dalam
berita-berita, tanpa pernah benar-benar melihatnya dalam bentuk yang
sesungguhnya—apalagi menghitungnya satu per satu.
Hidup
kami sederhana, disambung lembaran-lembaran uang recehan. Ilmu hitung kami
kelas rendahan: berapa untuk makan sehari-hari, uang jajan anak sekolah, biaya
transportasi, biaya listrik bulanan, dan kadang-kadang cicilan motor, dispenser
atau DVD player. Tak perlu kalkulator. Bila sedang beruntung, kami bisa punya
sisa uang untuk jalan-jalan di akhir pekan. Bila sedang sulit, kami tidak
kemana-mana, Pak: Kami mencari kebahagiaan gratisan di televisi—meski
kadang-kadang justru dibuat pusing dengan berita-berita tentang beberapa anak
buah Bapak yang korupsi.
Tahukah
Bapak, dalam televisi, juga koran-koran dan majalah: kami seperti tak punya
presiden! Kami seperti tak punya pemimpin! Negara ini terlanjur dikuasai para
bandit, Pak!
Ah,
mungkinkah Bapak tak sempat menonton TV atau membaca koran sehingga Bapak tak
mengetahuinya? Tapi, kemana saja sih Bapak selama ini? Mengapa hanya muncul
untuk bernyanyi, mengucapkan belasungkawa, atau membacakan pidato-pidato
bernada lemah yang berisi kabar buruk, permohonan maaf, dan keprihatinan?
Kami,
rakyat biasa, sesekali butuh kabar gembira, Pak. Kadang-kadang kami berkhayal
bahwa jangan-jangan kami sedang hidup dalam sinetron? Mungkinkah yang berpidato
di televisi itu bukan Bapak—tapi kembaran Bapak yang menyamar atau tertukar?
Mungkinkah kepala Bapak terbentur batu dan lantas hilang ingatan? Tetapi, tentu
saja itu bukan kabar gembira.
Pak
Presiden yang baik,
Kelak
bila harga BBM naik, dengan gagah dan baik hati konon Bapak akan memberi kami
kompensasi: Bapak akan membuat kami mengantre untuk mendapatkan uang bantuan
agar kami tak merasa kesulitan. Tapi, pikiran kami sederhana saja, Pak,
benarkah Bapak suka melihat kami mengantre—panjang-mengular dari Sabang sampai
Merauke? Kami tidak suka itu, Pak. Kami tak suka terlihat miskin, apalagi
menjadi miskin. Kalau memang Bapak punya uang untuk dibagikan kepada kami,
pakailah uang itu, kami rela meminjamkannya untuk menyelamatkan ‘perekonomian
nasional’ yang konon sedang gawat itu. Tak perlu naikkan BBM, pakailah uang
kami itu: kami rela meminjamkannya untuk menyelamatkan bangsa!
Bila
perlu, berdirilah di hadapan kami, katakan apa yang negara perlukan dari kami
untuk menyelamatkan kegawatan bencana ekonomi negara ini? Bila Bapak perlu
uang, kami akan menjual ayam, sapi, mesin jahit, jam tangan, atau apa saja agar
terkumpul sejumlah uang untuk melakukan pembangunan dan penyelamatan
perekonomian bangsa. Bila Bapak disandra mafia, pejabat-pejabat yang bangsat,
atau pengusaha-pengusaha yang menghisap rakyat, tolong beritahu kami: siapa
saja mereka? Kami akan bersatu untuk membantumu melenyapkan mereka. Tentu saja,
semoga Anda bukan salah satu bagian dari mereka!
Pak
Presiden yang baik,
Dengarkanlah
kami, berdirilah untuk kami, berbicaralah atas nama kami, belalah kami: maka
kami akan selalu ada, berdiri, bahkan berlari mengorbankan apa saja untuk
membelamu. Berhentilah berdiri dan berbicara atas nama sejumlah pihak—membela
kepentingan-kepentingan golongan. Berhentilah jadi bagian dari mereka yang
ingin kami benci sampai mati. Jangan jadi penakut, Pak Presiden, jangan jadi
pengecut!
Buanglah
kalkulatormu, singkirkan tumpukan kertas di hadapanmu, lupakan bisikan-bisikan
penjilat di sekelilingmu! Lalu dengarkanlah suara kami, tataplah mata kami:
tidak pernah ada satupun pemimpin di atas dunia yang sanggup bertahan dalam
kekuasaannya jika ia terus-menerus menulikan dirinya dari suara-suara
rakyatnya!
Pak
Presiden,
Sekali
lagi, tentang kenaikan harga minyak, barangkali kami memang tak pandai
berhitung. Tapi, sungguh, kami tak perlu menghitung apapun untuk memutuskan
mencintai atau membenci sesuatu; termasuk mencintai atau membencimu!
Come take a walk with me
Let's pretend we're just two people and
You're not better than me
I'd like to ask you some questions
if we can speak honestly
What do you feel when you see all the homeless on the street
Who do you pray for at night before you go to sleep
What do you feel when you look in the mirror Are you proud
How do you sleep while the rest of us cry
How do you dream when a mother has no chance to say goodbye
How do you walk with your head held high
Can you even look me in the eye And tell me why
Dear Mr. President
Were you a lonely boy Are you a lonely boy
Are you a lonely boy
How can you say
No child is left behind
We're not dumb and we're not blind
They're all sitting in your cells
While you pay the road to hell
What kind of father would take his own daughter's rights away
And what kind of father might hate his own daughter if she were gay
I can only imagine what the first lady has to say
You've come a long way from whiskey and cocaine
How do you sleep while the rest of us cry
How do you dream when a mother has no chance to say goodbye
How do you walk with your head held high
Can you even look me in the eye
Let me tell you bout hard work
Minimum wage with a baby on the way
Let me tell you bout hard work
Rebuilding your house after the bombs took them away
Let me tell you bout hard work
Building a bed out of a cardboard box
Let me tell you bout hard work
Hard work
Hard work
You don't know nothing bout hard work
Hard work
Hard work
Oh
How do you sleep at night
How do you walk with your head held high
Dear Mr. President
You'd never take a walk with me
Would you?
Salam,
Fahd
Djibran | 15/03/2012
*Lagu:
Pink feat Indigo Girls – Dear Mr President
************
Dari
Kami, yang Sering Kau Sebut ‘Si Miskin’
Salam
sejahtera untuk kita semua, terutama untuk Bapak Presiden yang—dilihat dari
kantung matanya—nampaknya sudah begitu berpikir dan bekerja keras agar
rakyatnya sejahtera dan hidup serba layak. Tak perlu serba cukup, itu terlalu
tinggi bagi orang-orang seperti kami—yang sering kau sebut Si Miskin ini.
Panggil
kami Si Miskin. Jangan lagi tanyakan hal retoris pada kami semacam apakah kami
suka dengan sebutan ini, bahkan bagi sebagian kami ini adalah gelar persembahan
presiden yang sangat membanggakan. Setiap nama kami ini disebut, semacam ada
gairah baru untuk bekerja lebih gigih dan keras. Kadang kami lupa waktu, lupa
makan, lupa istirahat, tapi tenang saja, ada dua hal yang tak pernah kami lupa:
yang pertama keluarga dan yang kedua presiden kami sudah barang tentu.
Bagaimana dengan Tuhan? Ah, kadang kami ingat bila sedang luang. Gelar—Si
Miskin—ini membuat kami begitu sibuk, sejujurnya.
Jika
anda bertanya kenapa sedari tadi kami menggunakan kata ‘kami’, tentu karena
kami tidak sendiri. Anggota kami kurang lebih ada 28,59juta (BPS 2013),
bayangkan bila seluruh anggota kami dikumpulkan dalam satu tempat. Banyak,
bukan? Hal lain yang membuat kami amat bangga selain jumlah kami yang banyak
ini adalah sistem seleksi yang ketat. Untuk menjadi bagian dari Klub Si
Miskin—gelar kehormatan dari presiden—ini maksimal pendapatan perbulan haruslah
Rp259,520, lebih dari itu jangan harap anda mendapat gelar kehormatan ini.
Lihatlah, betapa spesialnya kami!
Beberapa
hari yang lalu, di layar televisi warna 14 inch kreditan di rumah kami, kami
melihat sebuah iklan yang menyebut-nyebut nama kami. Siapa yang tidak senang
bisa muncul di TV? Ah, kami makin mencintai Pak Presiden. Dalam tayangan yang
kami lihat itu disebutkan bahwa APBN negeri yang kami cintai ini sedang deficit,
untuk menyelamatkannya harga BBM harus dinaikkan. Sejujurnya kami tak begitu
mengerti apa itu APBN, apa itu defisit, dan bagimana hitung-hitungannya
bekerja. Yang pasti, kelak bila harga BBM naik, katanya Pak Presiden akan
memberi kami uang dengan cuma-cuma. Wahai Pak Presiden, terimalah sembah sujud
dari kami sebagai ungkapan terima kasih.
Kini
kami sangat antusias menantikan penaikan itu. Sebab jelas penaikan harga BBM
akan meningkatkan produktivitas kami, Pak Presiden yang kami hormati pasti
senang. Ada beberapa hal yang membuat kami senang dan harus berterima kasih
entah dengan cara apa bila Pak Presiden jadi menaikkan harga BBM.
Pertama,
jelas harga-harga sembako akan naik—barangkali harga rokok kesukaan kami juga,
entahlah, kami tak terlalu mengerti bagaimana caranya harga-harga itu selalu
merangkak naik. Hal ini jelas akan membuat kami makin produktif, bekerja makin
keras, makin sering lembur dan mengerjakan apa saja untuk membeli
sembako-sembako itu. Ah, itu terdengar sangat mulia dan menyenangkan! Semacam
jihad barangkali.
Kedua,
dengan adanya uang cuma-cuma dari Pak Presiden yang disebut BLSM itu jelas kami
akan mengantre panjang dari Sabang sampai Merauke. Ini pasti sangat
menyenangkan karena dalam antrian itu kami akan bertemu orang-orang baru,
bersentuhan, lalu sesekali saling menginjak. Kami benar-benar tak bisa
membayangkannya. Apalagi nilai estetis dari antrian BLSM, pasti indah. Oh iya,
sebagian kami sudah punya rencana sebenarnya untuk uang itu, antara lain untuk
membeli Handphone model baru yang bisa kami pakai untuk Twitteran, kami
berharap bisa menyapa Pak Presiden di sana, karena kami dengar Pak Presiden
cukup aktif di Twitter. Sebagian kami lainnya berencana menggunakan uang ini
untuk membeli baju lebaran, urusan sembako bisa kami urus belakangan.
Ketiga,
dengan penaikan harga BBM ini, jelas akan memperpanjang barisan kami, yang
biasa disebut Si Miskin ini. Ada 29,38juta orang anggota Si Hampir Miskin (BPS
2011) yang kelak akan menjadi bagian dari kami. Siapa yang tidak bahagia bisa
mendapat jutaan keluarga baru? Ini semua tentu berkat upaya keras Pak Presiden.
Ah, Pak
Presiden, setiap peluh dan kerja kerasmu ini, entah bagaimana kami bisa
membalasnya.
Tapi
ngomong-ngomong, kami juga sering mendengar kabar-kabar tidak sedap yang kami tak
mengerti maksudnya, tapi pasti itu tidak benar kan, Pak Presiden? Misal suatu
kali kami pernah dengar kabar bahwa Pak Presiden tidak serius dalam mengelola
energi, termasuk menyiapkan konversi BBM ke Gas. Di waktu yang lain kami juga
mendapat kabar bahwa APBN kita banyak yang tidak jelas kemana muaranya, ah,
pasti mereka mengada-ngada. Ada juga kabar tentang penyelundupan BBM bersubsidi
untuk industri-industri, bah, mereka pikir kami akan percaya?
Oh iya,
beberapa waktu lalu salah satu anak kami yang masih SMP menanyakan hal yang
lugu, semoga ini tidak lancang. Dia bertanya: “BBM bersubsidi itu sebenanrnya
buat siapa sih? Kalau buat orang Miskin seperti kita kenapa banyak mobil-mobil
mewah juga pakai? Lalu kenapa Pak Presiden membiarkan? Kenapa tak dibuat
aturan, mereka yang menggunakan BBM bersubsidi hanya mereka yang miskin seperti
kami? Tentu beban subsidi menjadi lebih ringan, kan?” Ya, dia bertanya seperti
itu. Memang anak-anak selalu sok tahu, ya. Kami percaya Pak Presiden selalu
melakukan yang terbaik, dan bekerja sangat keras untuk menjamin kelayakan hidup
kami—apapun yang terjadi.
Ucapan
terima kasih ini, tentu tak sebanding dengan jasa Pak Presiden dan jajarannya.
Tapi tenang saja, Pak, di Pemilu 2014 nanti kami akan memilih Partai Pak
Presiden atau siapapun yang Pak Presiden dukung. Kami takkan melupakan jasa Pak
Presiden yang telah memberi kami gelar kehormatan Si Miskin ini, terutama tiga
jasa besarnya tadi: Membuat kami makin produktif dengan menaikkan harga
Sembako, Membuat kami mengantre panjang dari Sabang sampai Merauke untuk BLSM,
dan Menambah jumlah anggota kami.
Sekali
lagi terima kasih Pak Presiden, terima kasih juga wahai para tokoh Indonesia,
juga tak lupa para mahasiswa yang telah mendukung kebijakan mulia penaikan
harga BBM ini. Suatu saat izinkan kami membalas kebaikan kalian semua.
Terimalah
sembah sujud kami,
Si
Miskin yang akan segera bertambah jutaan orang jumlah anggotanya.
0 komentar