Meja Telepon Ibu : Sebuah Saksi Perjalanan Meraih Mimpi Mahasiswi Teknik Nuklir
15.04.00
Meja Telepon Ibu
Siti
Horiah
Mahasiswa Universitas Gadjah Mada Program
Studi Teknik Nuklir 2012
Disudut
ruang tamu kami, yang luasnya tidak lebih dari 4m2 itu terletak sebuah meja
kecil berwarna hitam. Meja itu adalah sebuah meja telepon rumah yang sudah
beralih fungsi sebagai meja belajarku. Meja itu adalah satu-satunya meja yang
ada di rumah kami, meja yang sampai saat ini masih dibiarkan ibuku tetap
berdiri tegak dan masih tetap berada dirumah kami dengan sebuah alasan yang tak
aku ketahui.
Beginilah
kondisi rumah kami setelah peristiwa kebangkrutan usaha ayahku. Demi menyambung
nyawa keluarga kami, ibu rela menjual barang-barang berharga yanga ada di rumah
kami pada tetangga sekitar. Ibuku tidak tahu lagi harus berbuat apa, dan tidak
tahu lagi bagaimana caranya mendapatkan uang untuk membeli beras. Beliau
menjual satu persatu barang-barang berharga kami, setiap kali datang waktu
makan. Mulai dari beberapa pakaian ibuku yang paling beliau suka, alat-alat
dapur seperti gelas, piring, panci, dispenser, bahkan sendok dan garpu pun ikut
habis terjual.
Ayahku
tidak dapat berbuat banyak setelah peristiwa kebangkrutan usahanya. Beliau
hanya mampu menjadi kuli dipasar tradisional di kota kami. Upah yang dia terima
tidak mampu menutupi kebutuhan keluarga besar kami.
***
Suatu
siang, aku melihat adikku Rafi menangis sambil menghampiri ibu yang sedang
duduk lemas menonton tv tanpa antena itu. Aku memperhatikan gerak-gerik ibu
yang kepanikan, beliau tidak ingin membiarkan Rafi adikku menangis terlalu
lama.
“ibu,
ibu aku lapar!” jerit Rafi.
Ibu
yang tak bisa berkata apa-apa langsung pergi menuju dapur, mengambil beberapa
piring. Aku pun terus memperhatikan gerak-gerik ibu. Aku heran apa yang akan
ibu lakukan dengan kelima buah piring itu. Sempat aku berpikir kalau ibu akan
mengambilkan nasi untuk Rafi, namun aku teringat kalau dari kemarin aku belum
memasak nasi untuk keluarga kami. Dengan masih tetap memperhatikannya dari
balik pintu, aku melihat air mata ibuku jatuh berlinang membasahi pipinya yang
pucat, namun dengan cepat beliau langsung menghapusnya takut-takut kalau air
matanya akan terlihat olehku. Aku pura-pura tidak sadar dengan apa yang ibu
lakukan didapur, aku menyibukan diriku dengan menggendong dan menimang Rafi
agar dia tidak menangis.
Kubiarkan
ibu dengan kesibukannya, kulihat beliau keluar rumah dengan kelima piringnya
itu. Tak beberapa lama kemudian beliau kembali dengan uang ribuan yang lusuh
sebanyak lima lembar. Aku terheran-heran atas apa yang ibu lakukan. Ibu
langsung menyuruhku pergi kewarung membeli setengah liter beras, dan satu butir
telur. Tanpa berpikir panjang aku pun langsung pergi menuruti perintah ibu.
Aku
kembali dengan apa yang ibu minta dan ibu langsung menyuruhku memasaknya. Ibu
menyuruhku membuat telur dadar dengan mencampurkan telur itu dengan terigu,
agar satu telur itu menjadi besar dan cukup untuk dimakan oleh kami
bersembilan. Aku menarik napas dalam-dalam, air mataku pun tak kuat dibendung,
menetes jatuh. Aku tak kuat menahan ini semua, bagaimana tidak, setiap harinya kami
hanya makan satu kali sehari. Berbagi setengah liter nasi untuk sembilan orang,
satu butir telur saja harus dibagi sembilan, sering kamipun membagi 2 bungkus
mie instans untuk sembilan orang. Terkadang ayah memilih pergi dari rumah saat
tiba waktu makan, beliau pergi sambil menitip pesan padaku agar jatah
makanannya diberikan pada adik-adikku saja.
Ibu
sangat sayang pada kami, beliau tidak pernah membagi penderitaanya pada kami
semua. Selagi ayah menjadi kuli dipasar, ibu selalu menggantikan peran ayah. Ibu
tak pernah terlihat sedih dengan penderitaanya. Ibu rela berkorban demi kami
semua. Ibu rela menjual tempat tidurnya dan memilih tidur dilantai dengan
beralaskan kasur yang tipis saja.
Hampir
seluruh barang berharga dirumah kami terpaksa beliau jual, demi menutupi
pendapatan ayah yang besarnya tak kurang dari sepuluh ribu rupiah. Hanya satu
buah meja telepon yang ibu sisakan diruang tamu kami. Aku heran kenapa ibu
tidak pernah mau menjual meja tersebut, beliau lebih memilih menjual beberapa
pakaiannya ketimbang menjual meja tersebut. Sampai pada saatnya aku tak sanggup
melihat pakaian terbaik ibu harus ikut terjual, akupun menawarkan meja telepon
itu untuk dijual pada ibu. Namun ibu menolak dengan kata-kata yang membuatku
menangis sendiri.
“Selapar
apapun kita nanti, ibu tidak akan menjual tempat yang kau gunakan untuk
mengantungkan cita-citamu itu nak, pakailah terus meja itu.” Ungkapnya sambil
pergi kerumah tetangga untuk menjual baju terbaiknya selama ini, demi sepiring
nasi untuk keenam adikku.
Aku
lemas mendengarnya, jadi selama ini ibu tidak mau menjualnya hanya karena aku
sering memakai meja yang panjangnya tidak lebih dari 30 cm itu untuk belajar.
Aku tersadar selama ini aku memang selalu menggunakan meja itu untuk belajar
karena itu adalah satu-satunya meja yang ada dirumah kami.
Itulah
kondisi yang selama ini aku alami, tak ada yang bisa aku lakukan banyak ketika
itu. Saat itu kondisinya aku sedang duduk dikelas tiga. Ditengah kondisi
seperti ini aku harus tetap berjuang untuk bisa lulus SMA. Setiap malam aku
bangun untuk belajar dan mengerjakan tugas, aku menggunakan meja telepon itu
sebagai alasku belajar. Terbayang betapa menderitanya belajar di atas meja yang
luasnya lebih kecil dari luas buku tulisku. Namun tidak ada pilihan lain
bagiku, aku tak mampu menunduk lama untuk belajar bila memilih belajar diatas
lantai yang dingin. Meja itu adalah teman terbaik bagiku. Dia selalu menemaniku
dimalam hari disaat semua orang terlelap, aku harus bangun untuk belajar. Semua
itu aku lakukan karena aku tidak memiliki waktu disiang hari untuk belajar.
Benar
kata ibuku meja itu adalah tempat aku menggantungkan semua cita-citaku. Tempat
aku memulai perubahan pada hidup keluargaku. Ibuku berharap besar padaku,
karena aku adalah anak pertama. Jadi setelah aku lulus SMA nanti aku bisa
langsung bekerja, dan ibu optimis terhadap diriku kalau aku nanti akan
mendapatkan pekerjaan yang layak. Karena ibu tahu aku termasuk murid yang
berprestasi disekolah.
Tanpa
disadari aku memang menyayangi meja kecil hitam itu, meja itu selalu aku
bersihkan setiap harinya, walaupun meja itu kecil dan sempit tapi aku masih
bersyukur bisa tetap menulis diatas meja. Meja itu adalah satu-satunya tempat
aku berbagi rahasia, tempat aku mengukir sebuah mimpi. Hanya meja itu yang
menjadi saksi kalau aku memiliki sebuah mimpi yang selama ini aku rahasiakan
dari dunia.
Aku
punya sebuah mimpi yang benar-benar tidak bisa aku ungkapkan pada siapapun. Aku
takut kalau mimpiku yang satu ini kuberitahu pada orang tuaku itu akan menjadi
beban padanya, kalau aku beritahu pada teman-teman atau orang banyak aku takut
mimpiku yang ini akan ditertawakan mereka. Jadi selama ini hanya meja kecil ini
yang bersaksi kalau aku sering mengukir sebuah nama Universitas yang aku
impikan pada catatan sekolahku. Ya, mimpiku yang tidak dapat aku beritahukan
kepada siapa pun termasuk orang tuaku sendiri adalah duduk di bangku KULIAH.
Sebenarnya
setiap kali orang tuaku membahas tentang pekerjaan yang nantinya aku lakoni
setelah lulus SMA, hati kecilku menangis merintih tak terdengar siapapun.
“ayah,
mama, aku gak mau kerja aku mau kuliah kaya temen-temen, aku mau masuk UGM aku
mau ke Jogja, aku gak bisa KERJA!” jerit hati kecil ini.
***
Saat-saat
seperti ini semua teman-temanku sibuk mencari tempat bimbel yang terbaik dikota
kami, sebagai salah satu persiapan sebelum menghadapi SNMPTN. Bagi seorang Siti
Horiah jangankan mengikuti program bimbel, buku paduan SNMPTN saja tak punya.
Aku tak pernah memiliki niat untuk membeli buku SNMPTN yang harganya selangit
itu. Untuk makan adik-adiku saja setiap subhu aku dan ibu masih harus keliling
pasar untuk menjajakan kue cucur buatan ibuku. Bagaimana aku mau menabung, uang
jajan yang ibu berikan itu hanya sebesar tiga ribu rupiah saja, itupun hanya
cukup untuk ongkos naik angkutan umum. Kalau kue kami tidak terjual satupun itu
berarti aku harus berjalan kaki sejauh 3 km untuk sekolah. Aku tak sanggup
meminta uang sepeserpun unutuk membeli buku SNMPTN pada ayahku yang menjadi
kuli dipasar, apalagi berkata pada ayah kalau aku ingin kuliah ke JOGJA.
Sudahlah bagiku kuliah adalah mimpi-mimpi basi seorang siswa SMA kelas 3
seperti aku ini.
Itulah
sebabnya aku menyembunyikan mimpi besar hidupku ini dari orang banyak. Bagiku
mimpi ini hanya akan menjadi pisau kecil bagi keluarga kami. Mimpi yang akan
menusuk dan mengiris perasaan kedua orang tuaku. Tak pernah sekalipun aku
berniat untuk mengkhayal menduduki bangku kuliah. Aku takut kalau kedua orang
tuaku tahu tentang mimpi ini, mereka pasti akan merasa kalau mereka bukan orang
tua yang baik, orang tua yang tidak bisa membahagiakan anak-anaknya. Biarlah
mimpiku yang ini hanya aku, meja kecil itu dan Tuhan yang tahu.
***
Sahabatku
Ana selalu ada untukku, memberika support. Cita-citanya menjadi dokter membuat
aku tersenyum miris sendiri. Aku selalu berpikir kenapa aku tidak seberani
dirinya bermimpi dan bercita-cita. Namun aku sadar aku tidak seperti dirinya,
aku bukan anak siapa-siapa yang boleh bermimpi setinggi itu. Kalau kata adikku
yang pertama “MIMPI ITU MAHAL KAK!” buat bermimpi saja itu sulit apa lagi
merealisasikannya pada kenyataan. Sesulit itukah bermimpi pikirku kalau mimpi
saja dianalogikan dan disamakan dengan kata mahal. Kata-kata yang membuat
keluarga miskin seperti kami gempar mendengarnya. Kata mahal itu bagi kami
berarti mustahil dijangkau. Maklumlah, bagi keluarga miskin seperti kami harga
sebutir telur naik seratus rupiah pun sudah membuat kepala ayahku sakit.
Saat
aku berkunjung kerumah Ana, orang tuanya memberikanku uang sebesar seratus ribu
rupiah. Tanganku gemetar menerimanya. Orang tua Ana memberikan uang itu untuk
aku gunakan sebagai ongkos pulang kerumah, yang pada kenyataannya ongkos yang
aku gunakan hanya empat ribu rupiah. Setelah kuputuskan sisa uang tersebut
kuberanikan saja untuk kubelikan sebuah buku SNMPTN bekas dipasar. Agar
harganya tidak mahal dan aku dapat memberikan sisa uangnya pada ibuku. Aku
sangat senang sekali saat itu, aku berpikir walaupun aku tak ada niat untuk
kuliah namun apa salahnya kalau aku juga ikut menimba ilmu seperti
teman-temanku.
***
“Kamu
mau kuliah?” sahut ayahku didepan ibu dan adik-adiku.
Aku
kaget bukan main terhadap pertanyaan itu, dari mana ayah tahu mimpi yang aku
sembunyikan dari dunia itu, mimpi yang tidak pernah terucap oleh lidahku
sendiri walau dalam doa di sholatku, mimpi yang hanya ikut mengalir bersama air
mata sebelum tidurku, mimpi yang bahkan akupun sendiri malu bercerita pada
Tuhan. Ternyata ayah menyadari hal itu semua karena buku SNMPTN yang baru aku
beli kemarin ku letakan diatas meja kecil hitam itu. Ibuku yang hanya lulusan
SD menggeleng-gelengkan kepala mendengar ucapan ayah. Ibu marah mendengar hal
itu, ibu menyuruhku mengubur mimpi tersebut, ibu takut kalau nantinya aku
stress karena mimpiku yang ini tidak akan pernah terwujud. Aku tertunduk
menangis, adik-adiku iba melihat kearahku. Ayah menenangkanku tersenyum padaku,
ayah berkata padaku agar aku belajar yang baik dan mencari tempat kuliah yang
aku inginkan. Ayah berkata kalau beliau akan berusaha mati-matian agar aku bisa
kuliah. Aku tersenyum melihat ayah yang bijak berkata seperti itu, entahlah aku
sempat berpikir kalau ayah hanya ingin menenangkan diriku saja.
***
Suatu
sore saat aku sedang menyapu halaman rumah, seorang ibu yang sebaya dengan
ibuku menegurku.
“kamu
mau kuliah yah neng?”. Tegurnya sambil tertawa kecil.
Aku
kaget dibuatnya, Ibu itu berkata kalau kemarin ibuku bercerita pada dirinya
bahwa aku merengek meminta meneruskan sekolah. Ibu itu menasihati diriku, dia
berkata padaku kalau kita sebagai orang susah jangan ‘kebanyakan tingkah’, aku
sebagi anak pertama jangan menyusahkan kedua orangtua dengan merengek-rengek
minta kuliah. Kuliah itu mahal katanya, upah ayahmu itu tidak cukup untuk makan
dua kali sehari, apalagi untuk biaya kuliah. Kasihan adikmu ada banyak mau
makan apa mereka.
Hatiku
bergetar, ingin rasanya aku membentaknya. Namun aku hanya mampu membalas
perkataannya dengan senyum termanis yang aku miliki.
Keesokan
harinya ibuku bercerita, kalau teman-teman ayahku dipasar itu mengolok-olok ayahku
karena ayahku bercerita pada mereka kalau aku ingin kuliah. Mereka berkata pada
ayahku kalau tidak akan ada universitas yang mau menerima orang miskin seperti
aku ini.
Aku
berlari menuju meja kecil hitam di ruang tamuku, ku buka buku catatanku yang
pernah kutulisi tulisan grafiti nama sebuah universitas impianku. Kurobek dan
kulempar bukunya, aku marah saat itu. Karena orang yang paling aku sayang itu
dihina oleh orang lain, dicaci maki. Aku tersadar kalau itu semua karena mimpi
‘konyolku’ berkuliah. Itulah sebabnya selama ini aku malu dan memutuskan untuk
menguburkan niat dan impianku berkuliah sedalam-dalamnya. Sudah kukira akan
berakhir dengan penghinaan kedua orangtuaku seperti ini. Aku kesal, orang tuaku
dihina seperti itu. Aku malu karena itu semua adalah ulah dari mimpi tidur
indahku.
***
Keesokan
harinya disekolah teman-temanku bersorak dan memanggilku.
“Selamat
yah sit, lu masuk daftar undangan SNMPTN tuh!” ucap Lidia
Jantungku
bergetar, aku tak percaya kalau namaku bisa masuk dalam jajaran murid-murid
pintar yang bisa mengikuti SNMPTN undangan. Aku pun girang bukan main, ku
hampiri guru bimbingan konselingku. Aku menceritakan masalah keluargaku selama
ini, awalnya aku tak mau bercerita namun karena mimpiku berkuliah saat ini
sudah ada di depan pelupuk mata. Maka akupun memutuskan untuk menceritakan
semuanya agar aku mendapatkan jalan keluar yang terbaik.
Guruku
itu langsung memeluk tubuhku yang kaku, dia memiliki impian besar terhadap
diriku. Dia mencarikan solusi untuk masalahku ini dengan menawarkan beasiswa
BIDIKMISI. Tanpa berpikir panjang aku menyetuji ajakannya. Aku pulang kerumah
dan menyiapkan berkas-berkas yang ada, saat itu aku merasa bersyukur sekali
karena impianku yang kurasa buruk itu akan segera terwujud. Aku sengaja tidak
memberitahu informasi ini pada kedua orangtuaku, aku ingin membuat semua ini
menjadi kejutan bagi mereka.
Segala
macam persyaratan pendaftaran SNMPTN itu pun telah dipenuhi, aku memutuskan
untuk memilih UNIVERSITAS GADJAH MADA dan prodi TEKNIK NUKLIR pada pilihan pertama.
Entahlah dengan hanya bermodal menyukai kimia dan fisika. Maka aku putuskan
untuk memilih program studi ini. Besar harapanku untuk diterima. Setelah
semuanya selesai , baru ku beritahu ayah dan mama. Mereka sangat senang karena
beasiswa Bidik Misi ini mereka berdua tidak perlu mengeluarkan uang sampai aku
lulus nanti. Kedua orang tuaku pun senang dengan pilihan program studi yang aku
pilih itu. Semuanya tinggal ku pasrahkan pada Tuhan. Kalau memang rezeki aku
pasti akan mendaptkannya pesan ayah padaku yang selalu ku ingat.Aku senang dan
aku ingin membuktikan pada semua orang yang telah menghina mimpiku.Aku ingin
membuktikan kalau impianku ini akan segera terwujud.
***
Dua
bulan lamanya aku menunggu pengumuman, selama itu aku mempersiapkan diriku untuk
bisa mengikuti SNMPTN tulis, aku belajar sedikit demi sedikit dari buku
soal-soal SNMPTN yang aku miliki. Semangatku berkuliah setiap harinya semakin
kencang. Ditengah-tengah semangatku ini, masih saja ada tetangga yang
mengolok-olok mimpiku. Ada tetangga yang berkata pada ibuku seperti ini.
“Hati-hati
bu, itu anaknya bukan mau kuliah tapi mau jual diri.” Ucapnya sinis
Ingin
rasanya aku menampar orang yang berbicara seperti itu pada ibuku, tapi ibuku
menyadarkanku kalau ucapan mereka adalah batu loncatan bagi prestasiku. Aku
harus tetap rajin belajar dan membuktikan pada dunia kalau mimpiku itu akan
mengubah dunia menjadi lebih baik.
***
Semua
hinaan, cacian maki tetangga-tetangga sampai saudara-saudara terdekat kami
kemarin terhadap mimpi besarku, kini lenyap sudah. Air mata kedua orang tuaku
kini warnanya berubah sebening permata, keringatnya yang bercucuran itu menjadi
keringat kebanggaan mereka terhadapku, simpulan senyum guru-guruku mengguratkan
harapan besar padaku. Ya, aku diterima di Universitas kerakyatan yang menjadi
kebanggaan negara ini. Universitas bergengsi dan nomor satu terbaik di Negri
ini. Gadjah Mada namanya, di sana namaku tertera di Teknik Nuklir. Program
studi sarjana Nuklir satu-satunya di ASEAN dan memiliki lulusan terbaik
se-Asia.
Aku
tak bisa berkata apa-apa, melihat kebahagiaan kedua orang tuaku. Melihat
mimpiku yang kini menjadi nyata, mimpi yang tak pernah berani aku ungkapkan
pada dunia. Mimpi yang tak seharusnya aku tutupi dari orang lain. Sekarang aku
sadar kalau semua itu memang berasal dari mimpi. Mimpi yang bukan hanya sekedar
mimpi, mimpi yang harus segera diwujudkan, bukan dibiarkan tetap tidur bersama
angan-angan semata. Aku pun tersadar sekarang kalau tak ada satupun hal yang
mustahil dalam hidup ini, aku masih memiliki Allah. Tuhanku yang tak pernah
tidur, yang selalu mau mendengarkan mimpi kecil kita. Aku tak akan
menyia-nyiakan amanat besarmu ini Tuhan. Aku tersenyum mengingat semua
pengorbanan aku dan kedua orangtuaku demi mimpi manis ini kemarin. Terimakasih
meja kecilku yang setia menemaniku merogoh mimpi ini. Terimakasih Tuhan
mengijinkanku merajut asa ini untuk meraih impian.
0 komentar