Saya dan Entahlah

08.24.00

Sudah lama sekali saya ingin terjun ke dalam bagian peduli kemanusiaan. Hampir setiap kali ada kesempatan bergabung, saya selalu berusaha turut serta.

Bagi saya, bergabung dalam misi kemanusiaan seperti mendapatkan sebuah kesenangan tersendiri. Ikut mengobarkan suara menuntut keadilan, ikut memperjuangkan nasib-nasib alam, mulai mengkampanyekan suara-suara peduli akan sesama dan alam, juga masih banyak lagi hal-hal yang sering saya dengungkan. Tentu, ini bukan hanya ikut-ikutan, ini murni dari hati.

Pada kegiatan #EartHour2014 kemarin, saya mendapat kesenangan yang luar biasa. Untuk acara itu, saya sampai mencoba mengajak ratusan masyarakat untuk sama-sama bergabung dan turut serta melakukan ‘penghematan’ —hal yang sangat jarang saya lakukan.

Kemarin juga, saya mengobrol dengan salah satu orang yang turut bergabung dalam acara tersebut. Orangnya tinggi, kurus, dan rambutnya panjang agak keriting —khas mahasiswa, mirip kawan SMA saya; Iqbal Firdaus. Kami bercerita banyak. Mulai dari kenapa mau ikut acara ini, sampai bagaimana idealismenya seorang mahasiswa sejati.

Dari percakapan itu, saya tahu, dia orang yang tidak terlalu peduli dengan nilai kuliah. Baginya, kegiatan luar kampus lebih mengasyikkan. Dia bisa mengeksplor dirinya dengan maksimal dalam organisasi. Bagaimana keinginannya akan meningkatkan kepedulian mahasiswa terhadap lingkungan, dan masyarakat. Pula, keinginannya mengikuti program Indonesia Mengajar. Nah, untuk yang satu ini, kami sama. Dari awal mengetahui program IM tersebut, saya memang langsung tertarik sekali. Saya merasa, mahasiswa memang seharusnya begitu, mengabdikan dirinya tanpa bayaran untuk Negaranya sendiri. Bukan masalah kalau nanti kamu tidak berhasil mengajar dengan baik, tapi yang terpenting adalah bagaimana kamu bisa mengetahui permasalahan Negara dengan lebih luas dan tentu memiliki bukti yang riil, dan kamu mencoba membenahinya. Itu yang terpenting.

Dia bilang, “…kalau saya belum bisa mengabdikan diri tanpa bayaran untuk Indonesia, berarti saya gagal menjadi mahasiswa dan anak bangsa.

Saya menimpal, “Yap, betul. Mahasiswa sejati memang harus balas budi dengan negaranya.”  

Kepadanya, saya juga ceritakan tentang keinginan saya untuk bisa pergi ke Pulau Sumatra. Bukan untuk berlibur atau menikmati alam, tapi saya ingin mencoba memperbaiki satu sektor atau bidang untuk Indonesia yang lebih baik, yaitu minat membaca. Karena, saya selalu sebal kalau mendengar ocehan anak-anak atau orang-orang yang tidak suka membaca buku. Entah karena saya suka membaca, atau apa, saya tidak tahu. Yang jelas, saya kecewa. Hal mudah dan bermanfaat seperti itu, kenapa tidak menjadi kebiasaan?

Hingga akhirnya, saya mulai mencoba cari jalan agar masyarakat, khususnya anak-anak mulai sadar untuk gemar membaca. Cara yang ada di otak saya adalah membuat perpustakaan. Tapi...saya tidak memiliki pasokan buku yang bisa membantu memenuhi ide saya tersebut. Saya juga tidak punya banyak buku yang bisa dipakai untuk isi perpustakaan. Oleh karena itu, saya masih mencari jalan sampai sekarang untuk mewujudkan ide tersebut. Semoga saja Allah membantu saya. Amin.


“Jangan tinggal di Indonesia, kalau cuma bicara tanpa memperbaiki Negaranya.” —Muhafiz Dwi Azhari, dalam otak saya sendiri.

You Might Also Like

0 komentar