Setiap
orang pasti pernah ngerasain yang namanya patah hati. Entah itu bapak-bapak
kantoran dengan jas rapi, anak muda yang hobinya nongkrong di coffee shop sampai pagi, abege-abege
yang pergi ke mall pakai seragam sekolah dan celana begi, atau kucing betina
kampung di rumah gue yang selalu hamil tanpa suami. Ya, orang-orang selalu
punya kisah patah hatinya sendiri, termasuk gue.
Gue
inget, di pertengahan 2010, ada patah hati yang sulit gue simpan dengan rapi.
Seperti para manusia susah move on
lainnya, bayangan mantan masih saja datang di pikiran gue. Bahkan terkadang,
kalau lagi berpapasan dan ketemu dia di sekolah, ada getir yang membuncah. Gue
berasa orang paling sekarat di dunia waktu itu. Perih. Rasanya pengin bilang
“hei, aku masih sayang sama kamu.” Tapi percayalah, apapun yang ada di pikiran
kita pasti gak akan keluar kalau ngalamin momen seperti itu. Yang ada, kita dan
dia sama-sama berjalan tanpa menghiraukan satu sama lain. Sedikit baiknya,
mungkin ada juga yang bisa saling lempar senyum sama mantan. Walau pasti itu
rasanya lebih pahit dari rasa obat terpahit dimana pun. Karena senyuman mantan
pada kita adalah hal termanis, sekaligus hal tersakit yang pernah ada.
Manisnya, untuk laki-laki melihat senyuman mantan sama seperti ketika melihat
senyuman wanita paling cantik di dunia ini. Karena wanita yang sudah jadi
mantan, akan jauh lebih cantik dibanding pas pacaran. Sakitnya, kita harus
sadar akan status yang sudah, mantan.
Atau yang lebih sakitnya, kita harus terima kalau senyuman itu adalah senyuman
paling manis dari mantan yang sudah menjalin ikatan dengan lelaki lain yang
lebih tampan. Untuk yang ngalamin hal yang terakhir gue saranin mending lu
pindah sekolah ke sekolah lain, atau pindah keluar kota, atau pindah ke luar
negeri, atau mungkin...bisa juga pindah kelamin. Kalau mau di Thailand banyak
yang murah, kok, mau gue kenalin sama dokternya?
Berselang
beberapa bulan kemudian, di akhir 2010, ada hal yang membuat gue sedikit bisa
lupa dengan mantan gue. Waktu itu ada teman SMP pas kelas VIII yang add Facebook gue. Dari situ kami jadi intens
komunikasi. Gue cerita gimana susahnya move
on dari mantan gue sebelumnya dan dia juga cerita gimana susahnya jalanin
hubungan sama orang yang cuek. Banyak hal yang kami bagikan. Sampai akhirnya,
dia kirim sms, “boleh gak aku gantiin, si ‘anu’ di hati kamu?”
“Hah?
Maksudnya?” jawab gue, polos.
Dia
membalas, “aku mau kamu lupain dia, dengan sama aku.”
Percakapan
terus berlanjut, bla bla bla bla bla bla.
Dan kami pun jadian.
Lima
tahun berlalu. Sekarang tahun 2015 awal, saat ini adalah patah hati yang terhebat
buat gue. Tapi gue percaya, di setiap patah hati, akan selalu ada jatuh hati
lagi nantinya, begitu terus―sampai nanti kita nemuin
yang membuat kita selalu jatuh hati setiap harinya, tanpa pernah lagi merasa
patah hati.
Memang,
terkadang ada patah hati yang mengubah diri seseorang menjadi orang yang
tertutup, traumatik, atau mungkin malah jadi seseorang yang berkelakuan buruk.
Tapi pasti ada patah hati yang mengubah seseorang jadi orang yang lebih baik
lagi, kan? Kalau dia bisa, kenapa kita enggak? Kita boleh hancur saat ini, tapi, apa kita harus tetap menunggu
hujan berhenti? Sementara kita punya pilihan untuk mengenakan jas hujan, atau
menggunakan payung untuk menembus hujan dan mendapatkan cahaya matahari di
tempat yang lain.
Selalu
ada masa dimana, yang tak terduga datang dan mengubah semuanya. Masa dimana
yang berlalu hilang, dan berganti dengan yang baru. Karena semuanya tidak akan
pernah sama terus-menerus. Yang hilang, pasti terganti. Selalu seperti itu.