“Hai!” dari
lorong fakutlas tangannya melambai ke arahku.
Dua
tahun sudah aku mondar-mandir ke gedung ini untuk memakan materi dari dosen-dosen anehku, baru kali ini tubuhku seperti
hendak terkapar tak berdaya. Sungguh sambutan yang gila.
Omong-omong, dia selalu sama, dari rambutnya yang selalu dipotong cepak, gaya busana cueknya, sampai sepatu sneakers yang selalu dia pakai. Dia memang tidak pernah menjadi orang yang berbeda di mataku, dan hatiku.
“Kamu lagi ada tugas?”
kataku memulai pembicaraan. Seketika, dia langsung merapikan tumpukan buku yang
menggangu di sampingnya, dan mempersilakan aku untuk duduk.
“Eh—iya, nih,” matanya kembali menatap layar
laptop di pangkuannya.
“Aku
bawa nasi goreng mentega, nih, kamu mau? Pasti belum sarapan kan,”
kataku sambil merogoh tas. Lalu kusodorkan kotak nasi berwarna biru
kesayanganku.
Akhir-akhir
ini aku memang selalu membawa bekal ke kampus. Alasan terkuatku, ya, untuk
menghemat pengeluaranku di sini. Aku tidak mau merepotkan Ayah dan Ibu yang
susah payah memberikanku uang bulanan untuk aku menuntut ilmu sendiri di tempat
yang begitu dingin ini.
“Hmmm?” bola matanya menyelinap ke
balik tutup kotak nasi yang kubawa.
“Udah nih makan dulu! Kebetulan tadi aku sudah
makan sama Shanti di kostan-nya,”
Dia
mengambil sendok yang kubawa, “Aku coba, ya?”
*****