Hai
Tanah Airku, hari ini aku meneteskan air mata di tengah ribuan pasang kaki yang
berdiri menghayati arti pernyataan para pemuda dan pemudi kala itu. Kami menatap
tajam ke depan, menyuarakan sebuah pesan perdamaian yang diamanatkan kepada
kami saat ini. Kami menggemakan kata-kata sumpah, sebagai rasa cinta kami
kepadamu, Tanah Airku.
Saat
ini, dan di tempat ini, kami dobrak gendang telinga dunia, kami perihkan ribuan
pasang mata, kami keringkan batang tenggorokan mereka, dan kami bakar tubuh
malas pemudi dan pemuda, karena hari ini, kami ingin menyerukan ikrar yang
suci. Ikrar bakti kami untukmu, tempat ceritaku dimulai dan diakhiri, nanti.
Jutaan
bahasa, miliaran budaya, dan triliunan kekayaan Negara, adalah anugerah untuk
kami di sini. Satu-satunya Negara yang memiliki miliaran triliun keindahan. Satu-satunya
Negara yang merebut kemerdekaan tanpa pertumpahan darah sesama warga Negara.
Satu-satunya Negara yang warga Negaranya bertekad bulat bergerak bersama
tanpa pikir panjang, bersatu sekalipun harus mati. Kita adalah keunikan dalam satu, Tanah Airku. Lalu, haruskah
kami melupakanmu? Haruskah kami meninggalkanmu? Haruskah kami tidak membanggakanmu?
Tidak akan ada satupun alasan.
Terima
kasih Tanah Airku,
Dengan ini,
kami bersumpah…
Kami
putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air
Indonesia.
Kami
putra dan putri Indonesia, mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia.
Kami
putra dan putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.