Indonesia merupakan negara demokrasi. Di dalam
negara demokrasi, maka partai politik merupakan sebuah kendaraan untuk masuk ke
dalam pemerintahan—sebagai wujud dari demokrasi itu sendiri. Tapi sayangnya,
banyak politikus amatiran yang salah mengartikan maksud kendaraan di sini.
Mereka cenderung mengartikannya secara tekstual. Sehingga akhirnya banyak
sekali poster-poster caleg yang mejeng
di kendaraan-kendaraan umum. Padahal, sejatinya kendaraan di sini adalah media
atau alat. Jika politikus amatiran
ini saja sudah salah dalam menafsirkan kata, maka, apakah bisa mereka
menafsirkan keinginan rakyat yang diwakilinya?
Kita semua
tahu. Para politikus yang duduk di gedung parlemen adalah wakil-wakil dari
rakyat. Setiap satu orang dari mereka mewakili beberapa rakyat untuk
disejahterakan. Tetapi sekali lagi, mereka menafsirkan mewakili untuk
disejahterakan itu hanya secara tekstual. Alhasil, mereka terus meminta
negara menyejahterakan mereka atas dalih mereka adalah wakil dari rakyat. Kesejahteraan
mereka adalah kesejahteraan rakyat. Padahal kenyataannya, yang sejahtera justru
hanya mereka. Sementara rakyat yang diwakilinya? Sama sekali tidak.
Anggota DPR setiap hari datang ke kantor dengan
mobil mewah. Sementara orang-orang yang diwakilinya hanya berjalan kaki ke
kantor, menyebrangi jembatan rusak untuk sampai ke sekolah, naik kendaraan umum
yang seperti barang rongsokan jika hendak bepergian, dan lain sebagainya.
Apakah mereka merasakan hal yang sama dengan rakyat yang diwakilinya? Oh,
mungkin pertanyaannya salah. Harusnya, apakah mereka mau merasakan hal yang sama seperti rakyat yang diwakilinya dan tanpa protes? Ya, tanpa protes. Seperti
apa yang dilakukan orang rakyat-rakyat yang ‘katanya’ diwakili oleh mereka.
Mendapatkan fasilitas buruk, tanpa bisa memprotes dan menuntut. Karena kenyataannya,
setiap kali rakyat protes, toh, mereka-mereka yang berada di sana tidak
sedikitpun mendengarkannya. Mereka sudah asyik dengan ponsel serta alam
mimpinya ketika nasib rakyat sedang dibahas oleh mereka. Dan toh, mereka juga
hanya mendengarkan apa kata partainya, bukan rakyat yang diwakilinya.
Bahkan jika para anggota dewan yang terhormat ini
bertemu dengan preman pasar yang sering minta
jatah kepada pedagang pasar di jalan, tentu saja mereka tidak akan dipalak.
Yakali, preman pasar malak preman negara. Yang ada, preman tersebut hanya
bilang. “Maaf pak, saya ini preman yang malak duit halal. Kalau saya malak
bapak, yang ada dosanya double!”
Inilah demokrasi di Indonesia. Demokrasi
‘Mimpi’. Demokrasi yang hanya terus-terusan bermimpi untuk berdemokrasi.