Dii, sedang
apa kamu, sekarang? Aku rasa, pada jam-jam segini biasanya kamu sedang rapat,
iya, kan? Oh iya, aku mau cerita. Belakangan ini aku sedang suka sekali dengan
lagu Tak Pernah Ternilai, dari Last Child. Entah kenapa, begitu pertama kali
aku mendengarkan lagu ini aku langsung teringat semua hal tentang kita—tentang
kamu yang tak mengacuhkan aku lebih tepatnya. Memang, semua liriknya tidak benar-benar
menggambarkan teantang kita, tapi aku merasa tertampar setiap kali aku
mendengar bait pertama dari lagu ini—kau menyiksaku di sini, dalam rasa bersalah yang
kini membunuhku secara perlahan. Kau selalu menghindar dari aku yang selalu
mencoba ungkapkan semua lewat tatap mata ini. Ternyata maafmu tak pernah pantas
untukku. Kau anggap aku tak ada, dan kau tak pernah mengenal diriku.
Dii,
harus aku bilang berapa ribu kali lagi agar kamu percaya bahwa aku tidak
bermaksud mempermainkan hatimu. Aku memang mencintaimu, Dii. Itu benar. Karena,
ketika melihat tingkah malu-malumu saat kita sedang makan berdua untuk pertama
kalinya dulu, rasa itu sudah mulai hadir. Aku suka melihatnya. Senyummu tulus.
Dii,
aku ingin mengurai seluruh kenangan kita. Tapi aku khawatir itu hanya akan
memperparah benakmu yang masih belum bisa memilah dengan jernih mana yang manis
dan mana yang pahit. Aku takut air mata semakin deras jatuh dari matamu.
Apa
kamu mau memaafkan aku?