Sudah
lama sekali saya ingin terjun ke dalam bagian peduli kemanusiaan. Hampir setiap
kali ada kesempatan bergabung, saya selalu berusaha turut serta.
Bagi
saya, bergabung dalam misi kemanusiaan seperti mendapatkan sebuah kesenangan
tersendiri. Ikut mengobarkan suara menuntut keadilan, ikut memperjuangkan
nasib-nasib alam, mulai mengkampanyekan suara-suara peduli akan sesama dan alam,
juga masih banyak lagi hal-hal yang sering saya dengungkan. Tentu, ini bukan
hanya ikut-ikutan, ini murni dari hati.
Pada
kegiatan #EartHour2014 kemarin, saya mendapat kesenangan yang luar biasa. Untuk
acara itu, saya sampai mencoba mengajak ratusan masyarakat untuk sama-sama
bergabung dan turut serta melakukan ‘penghematan’ —hal yang sangat jarang saya
lakukan.
Kemarin
juga, saya mengobrol dengan salah satu orang yang turut bergabung dalam acara
tersebut. Orangnya tinggi, kurus, dan rambutnya panjang agak keriting —khas
mahasiswa, mirip kawan SMA saya; Iqbal Firdaus. Kami bercerita banyak. Mulai
dari kenapa mau ikut acara ini, sampai bagaimana idealismenya seorang mahasiswa
sejati.
Dari
percakapan itu, saya tahu, dia orang yang tidak terlalu peduli dengan nilai
kuliah. Baginya, kegiatan luar kampus lebih mengasyikkan. Dia bisa mengeksplor
dirinya dengan maksimal dalam organisasi. Bagaimana keinginannya akan meningkatkan
kepedulian mahasiswa terhadap lingkungan, dan masyarakat. Pula, keinginannya
mengikuti program Indonesia Mengajar.
Nah, untuk yang satu ini, kami sama. Dari awal mengetahui program IM tersebut, saya memang langsung
tertarik sekali. Saya merasa, mahasiswa memang seharusnya begitu, mengabdikan dirinya
tanpa bayaran untuk Negaranya sendiri. Bukan masalah kalau nanti kamu tidak
berhasil mengajar dengan baik, tapi yang terpenting adalah bagaimana kamu bisa
mengetahui permasalahan Negara dengan lebih luas dan tentu memiliki bukti yang
riil, dan kamu mencoba membenahinya. Itu yang terpenting.
Dia
bilang, “…kalau saya belum bisa
mengabdikan diri tanpa bayaran untuk Indonesia, berarti saya gagal menjadi
mahasiswa dan anak bangsa.”
Saya menimpal,
“Yap, betul. Mahasiswa sejati memang
harus balas budi dengan negaranya.”
Kepadanya,
saya juga ceritakan tentang keinginan saya untuk bisa pergi ke Pulau Sumatra. Bukan
untuk berlibur atau menikmati alam, tapi saya ingin mencoba memperbaiki satu sektor
atau bidang untuk Indonesia yang lebih baik, yaitu minat membaca. Karena, saya selalu sebal kalau mendengar ocehan
anak-anak atau orang-orang yang tidak suka membaca buku. Entah karena saya suka
membaca, atau apa, saya tidak tahu. Yang jelas, saya kecewa. Hal mudah dan
bermanfaat seperti itu, kenapa tidak menjadi kebiasaan?
Hingga akhirnya,
saya mulai mencoba cari jalan agar masyarakat, khususnya anak-anak mulai sadar
untuk gemar membaca. Cara yang ada di otak saya adalah membuat perpustakaan. Tapi...saya tidak memiliki
pasokan buku yang bisa membantu memenuhi ide saya tersebut. Saya juga tidak
punya banyak buku yang bisa dipakai untuk isi perpustakaan. Oleh karena itu,
saya masih mencari jalan sampai sekarang untuk mewujudkan ide tersebut. Semoga saja
Allah membantu saya. Amin.
“Jangan
tinggal di Indonesia, kalau cuma bicara tanpa memperbaiki Negaranya.” —Muhafiz
Dwi Azhari, dalam otak saya sendiri.