Soal Soekarno

13.43.00

Soekarno, sosok presiden yang paling mendekati sempurna untuk seorang pemimpin, kata sebagian orang. Saya rasa itu salah. Soekarno hanya pintar berorasi, tapi dalam memimpin sebuah Negara, dia memiliki banyak kecacatan. Dia ceroboh. Memang, tidak mungkin ada pemimpin yang sempurna, tapi tentu kita tidak seharusnya juga diam saja menikmati ketidakadilan.

Jika kita teliti lebih dalam, Soekarno bisa dibilang sebagai seorang pengkhianat. Ketika dia mempunyai pengaruh dan kekuasaan yang sangat besar, dia malah berbuat seenaknya. Seorang diktator yang merdeka.

Karena begitu besar kekuasaannya, mulailah patung-patung sebagai bentuk penghormatan terhadap dirinya, ia bangun di sana-sini. Sementara di sisi lain, rakyat malah dibiarkan menderita begitu saja. Saya pribadi tidak menentang masalah pembangunan, tetapi saya menentang pembodohan publik. Karena menurut sebagian pemikir di Negeri ini yang sangat saya setujui pendapatnya, bahwa Demokrasi Terpimpin pada saat itu hanyalah bentuk topeng dari sosok seorang Soekarno dan antek-anteknya untuk memperkosa asas-asas demokrasi yang sebenarnya.

Kemudian, ketika Soekarno begitu dekat dengan PKI, semua rakyat seakan percaya itu bentuk dari perjalanan sebuah revolusi nantinya, sekalipun itu malah membuat ketegangan yang luar biasa di tingkat pemerintahan, yaitu antara militer dan PKI. Salahnya, saat itu intelegensia malah berkoar atas nama pribadi dan kelompoknya masing-masing, bukan atas nama kebenaran. Sehingga justru menjadi siapa yang paling cerdik dalam memanfaatkan situasi, dia yang menang atas keadaan yang ada, dan dia berkuasa. Lagi-lagi rakyat hanya diberi tontonan yang berisi kemunafikan.

Dalam buku “Bung Karno; Sang Singa Podium”, saya sempat menemukan ketidakberesan sosok Soekarno. Memang, isi buku tersebut sudah menjadi hal umum. Seperti soal kepandaiannya dalam berorasi, karismatiknya sebagai pemimpin dan juga ucapannya di depan umum yang sangat bernyawa. Tetapi, dalam buku itu disisipkan pula soal kehidupan pribadi seorang Soekarno yang memiliki banyak istri; layaknya raja-raja jawa, saya bilang. Memang kejadian itu merupakan bukti bahwa dia bukanlah seorang yang munafik, tapi itu hanya untuk urusan pribadi, saya rasa. Untuk urusan pemerintahan, dia hanya seorang diplomat yang kerjaannya bernegosiasi sana-sini untuk melanggengkan kekuasaan dan menstabilkan kedudukannya. Padahal, sebagai seorang pemimpin dia seharusnya memperhatikan intrik yang muncul di tengah masyarakat. Dia tidak bisa seenaknya saja seperti itu. Politik itu kotor. Satu celah kecil bisa menjadi ribuan alasan untuk melawan.

Setelah PKI perlahan runtuh dan kehilangan kepercayaan rakyat akibat kebobrokan yang mereka buat sendiri, Soekarno kemudian memanfaatkan kecondongan blok ABRI yang simpati dengan PKI untuk melanggengkan kekuasaannya. Namun, kebencian rakyat akan partai komunis itu sudah tidak bisa dielakan lagi. Wajar saja kalau akhirnya keadaan itu terlalu memanaskan situasi yang ada, dan alhasil Soekarno mulai terjepit. Tapi, tidak disangka Soekarno justru membuat sebuah politik kenaikan harga untuk melawan blok anti komunis dan menjatuhkan pengaruhnya di masyarakat. Tujuannya sangat jelas, mengorbankan rakyat untuk mengalihkan isu penumpasan PKI. Dia ingin rakyat hanya memikirkan soal perut, bukan soal intern pemerintahan yang sedang bergejolak. Dan yang terpenting, dia menjadikan ini sebagai cara untuk menjepit pengaruh ABRI yang saat itu hanya bisa disaingi oleh PKI. Karena di tengah situasi seperti itu, jika ABRI berdiam diri, maka keadaan rakyat akan semakin kacau. Tetapi, jika ABRI bertindak, mereka akan dimusuhi rakyat.

Soe Hok Gie dalam bukunya “Catatan Seorang Demonstran” beranggapan bahwa Tritura sebagai bentuk perlawanan terhadap politik kenaikan harga itu tidak akan berpengaruh besar jika tidak ada perbaikan di bidang ekonomi. Menurutnya, jika rakyat Indonesia terlalu melarat maka akan secara natural mereka akan bergerak sendiri, dan yang ada hanya akan timbul kekacauan dimana-mana.

Untungnya, mahasiswa-mahasiswa Indonesia yang tergabung dalam KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) terus-menerus bersikeras bersuara menuntut pemenuhan tiga tuntutan rakyat tersebut. Sampai akhirnya Soekarno mengumumkan pergantian kabinet, namun unsur PKI masih nyata dalam Kabinet baru. Mahasiswa semakin tersulut emosinya. Demonstrasi mahasiswa terus bermunculan secara lebih mobilitas. Sehingga terjadilah pemboikotan saat pelantikan menteri-menteri baru oleh mahasiswa waktu itu. Ketegangan yang terjadi pada saat itu sangat tidak terkendali, hingga gugurlah salah satu mahasiswa terbaik Negeri ini, Arief Rahman Hakim, sang Pahlawan Ampera oleh anggota Pasukan Cakrabirawa. Kematian Arief melecut amarah para mahasiswa. Jaket Kuning bersimbah darah miliknya dijadikan simbol perlawanan mahasiswa dan masyarakat terhadap rezim Soekarno. Alhasil, kekacauan yang terjadi memaksa Soekarno untuk bertindak. Soeharto, seorang Letjen yang melihat peluang besar ini akhirnya mendesak Soekarno untuk menstabilkan keadaan yang ada lewat ‘Super Semar’. Dan benar saja, Soekarno dimutilasi kekuasaannya, dan dia dibuang begitu saja lewat ‘Super Semar’ tersebut. Akhirnya, Soeharto dan militer, yang menang. Itulah bukti kecacatan Soekarno.

Intinya, Soekarno hanyalah seorang orator. Untuk urusan kenegaraan, dia tidak becus. Dia tidak ditakdirkan sebagai seorang politikus, yang sebenarnya.

You Might Also Like

0 komentar