Apakah Sepi Itu Sederhana?
07.01.00
Katanya, sepi itu
membunuh,
menggenggam erat kencang paru-parumu, sampai kau lupa untuk bernafas. Katanya,
ujung dadamu semakin terasa kian sesak, hingga terkadang kamu tidak
menyadari, tatapanmu sudah berkabut, semua terlihat samar, yang pada akhirnya,
berlumuran air mata. Begitulah, sepi memang tak pernah bisa terasa sederhana,
kerap kali ia membuatmu kesal, dan selalu saja ia berhasil mempecundangimu, ya,
dengan cara seperti itu.
Sulit memang jika
Tuhan sudah punya keinginan. Dia tak pernah bisa bersabar, itulah mengapa sukar
bagimu untuk menang saat kau berurusan dengan takdir, karena takdir sama sekali
tak bisa menunggu, ia selalu terjadi, pada waktunya. Kau hanya bisa duduk manis
menerimanya, dipaksa merasakannya, dan kau harus bersadar, kalau kau tak mampu
mengubah apapun didalamnya. Takdir hanya bisa memberimu sebuah pesan, bahwa
dunia bukanlah tempat dimana semua keinginan bisa terwujud. Ia juga seperti
sebuah cerminan, bagaimana hidup itu tidak selamanya menyenangkan.
Inilah Tuhan, Maha
Pengasih lagi Maha Penyayang, tapi sisi lain, Dia sangat terbukti Maha Kuat.
Saking kuatnya, hanya dalam kedipan mata, Dia bisa membuatmu tersungkur, jatuh
terperosok ke dalam jurang kepedihan, mencabik sedikit demi sedikit
dinding-dinding jiwamu, yang semakin lama semakin terlihat ringkih, pedih.
Melanjutkan hidup, ya
tentu saja kau harus melakukannya. Lagipula, hidup memang akan selalu
berlanjut dengan sendirinya, tanpa bisa kau hentikan. Hanya saja, hidup ini
tidak cukup hanya sekedar untuk dilanjutkan, tapi juga patut dirayakan, dan
dinikmati. Sementara kepergianmu, terlampau membuat segalanya menjadi sulit,
dan kerap kali membuatku bertanya, bagaimana caranya merayakan hidup saat kau
berada dititik ini? Titik dimana Tuhan telah membuat kita bermandi jarak,
berpeluh sepi, dan terus terbenam dalam kekosongan. Kita sudah tidak terlihat
satu sama lain.
Matahari, kaulah rindu
itu, walau sesaat dalam pelukan, lalu kini melepas, terhempas pergi. Sementara
aku masih ingin sekali menari, dan menamai semuanya dengan kata bahagia.
Sialnya, hidup ini harus terus berjalan, bergerak dan terus melaju dengan
congkaknya. Kini, akupun terpaksa harus sekarat dihadapan kenyataan. Memberikan
sebuah senyum kepalsuan.
0 komentar